Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2018

Syarah Rindu

Gambar
SYARAH RINDU Malam kian beranjak, derik jangkrik di luar sana berbisik mesra di telingaku, sedang aku tak kunjung terpejam. Gothakku malam ini terasa sepi, hanya ada tiga santri, itupun termasuk aku. Rasa capek hasil ro’an tadi siangpun tak membuat mataku rela dipejamkan, padahal seluruh tubuhku dirundung pegal setiap inchinya. Aku memutuskan duduk bersandar di tembok dan kuraih kitab Fatkhul Mu’in yang tadi sore kukaji di madrasah. Kubuka lembar-lembar awal dan perlahan-lahan kubaca lagi sambil sesekali menambal sah-sahan yang belum lengkap. Tiba di halaman kedua, mataku terhenti membelai tulisan arab gundul kitabku. Terselip foto ukuran kartu nama di halaman itu, wajah dan senyum itu masih berseri walaupun kertasnya sudah kusut. Sore tadi juga masih ada senyum yang sama di pelataran masjid saat berpapasan denganku. Kubalik foto senyum itu, tertulis “Nur Syafia”. Satu nama yang bukan hanya tertulis di kertas berfoto itu, tapi juga di hatiku.

Senandung Biru

Gambar
Derap bising motor bebek hitamku memenuhi simpang tiga dusun Mayungan dan sejenak kemudian terdiam di samping utara masjid. Kyai Burhan segera keluar dan menyapaku. “Ealah sampean to mas, monggo-monggo masuk” Sapa Kyai Burhan dengan senyumnya yang wibawa. “Njih pak lik....” jawabku singkat sambil mengikuti langkah Kyai Burhan. Kami memasuki ruangan luas yang tergelar karpet hijau, di sudut ruangan ada satu set meubel yang sudah agak usang. Aku langsung duduk di karpet, tetapi Kyai Burhan meraih tanganku dan mengajak duduk di atas. Beliau memang terhitung saudara jauh dari ayahku yang detail urutannya aku sendiri pusing, tapi beliau selalu tak pernah mau kupanggil pak Kyai, aku dimintanya tetap memanggil beliau pak lik. Kyai Burhan memang seorang yang sangat sederhana, walaupun santrinya tergolong tidak banyak tapi beliau adalah seorang pengasuh pondok. Aku tetap menjaga unggah-ungguhku sebagai santri. Pondok pesantren “Nurul Khasanah” namanya tetapi orang lebih kenal den

Arsa

Gambar
Segerombolan awan tergulung di barat desa Jangkrikan, menjadi satir sebagian sinar sore. Cahaya yang menguning menemaniku mandi untuk begegas menuju masjid Al-karomah bersama santri-santri lain. Selepas jama'ah sholat asar semua santri putra langsung duduk di serambi masjid, sedang santri putri pulang ke gothak berganti kostum dan menyusul duduk disamping satir pembatas. Sedangkan aku sibuk membolak-balik kitab untuk menemukan sampai mana ngaji kemarin. Sampai-sampai tak sadar semua santri sudah duduk di hadapanku. Dengan rutinitas seperti biasa aku mulai ngaji sore ini. Setelah berapa bab aku baca dan terangkan, sesi diskusi dimulai. Beberapa santri putra dan putri saling berpendapat, sedang aku hanya diam memperhatikan mereka. Ada sedikit yang aneh, beberapa kali aku melihat seorang santri putri memperhatikanku. Aku hanya pura-pura tak menyadari, tapi diam-diam sesekali aku juga memandanginya. Saat mata kami saling bertemu pandang, mataku langsung meloncat seribu arah. S