Syarah Rindu
SYARAH RINDU
Malam kian
beranjak, derik jangkrik di luar sana berbisik mesra di telingaku, sedang aku
tak kunjung terpejam. Gothakku malam ini terasa sepi, hanya ada tiga santri,
itupun termasuk aku. Rasa capek hasil ro’an tadi siangpun tak membuat mataku
rela dipejamkan, padahal seluruh tubuhku dirundung pegal setiap inchinya. Aku
memutuskan duduk bersandar di tembok dan kuraih kitab Fatkhul Mu’in yang tadi
sore kukaji di madrasah. Kubuka lembar-lembar awal dan perlahan-lahan kubaca
lagi sambil sesekali menambal sah-sahan yang belum lengkap. Tiba di halaman
kedua, mataku terhenti membelai tulisan arab gundul kitabku. Terselip foto
ukuran kartu nama di halaman itu, wajah dan senyum itu masih berseri walaupun
kertasnya sudah kusut. Sore tadi juga masih ada senyum yang sama di pelataran
masjid saat berpapasan denganku. Kubalik foto senyum itu, tertulis “Nur
Syafia”. Satu nama yang bukan hanya tertulis di kertas berfoto itu, tapi juga
di hatiku.
Terngiang pertemuan
pertamaku dengannya tiga tahun lalu. Datang ke pondok bersama almarhum ayahnya
yang meninggal empat bulan setelah putrinya mondok. Berbaju putih berjilbab
putih dipadu dengan sarung tuban. Setelah sowan ke ndalem mereka berdua masuk
ke kantor pondok yang berada di sebelah selatan masjid.
“Assalamu’alaikum...”
sapa pak Khotib ayah Nur si santri baru sembari mengetuk pitu.
“Wa’alaikumsalam,
monggo pak silahkan masuk” jawabku sambil berdiri mempersilahkan mereka duduk.
Siang itu lurah
pondok sedang mengajar kelas di madrasah, kebetulan aku sedang berbenah berkas
dan buku di kantor pondok yang agak berantakan. Tanpa diberi tahupun aku sudah
tahu maksud kedatangan mereka. Kucari-cari buku induk dan formulir pendaftaran
di lemari pojok ruangan kantor. Setelah kudapati, aku duduk didepan dampar dan
mempersiapkan pulpen untuk nanti menulis.
"Maaf, pak.
Mau mendaftarkan putrinya di pondok, pak?" Tanyaku pada pak Khotib.
"Nggih, mas.
Terus persyaratnya apa saja? Saya hanya membawa fotocopy akte saja" jawab
pak khotib sambil menyerahkannya padaku.
"Nggih, cekap
niku mawon, pak" jawabku sembari menyiapkan formulir.
"Namanya Nur
Syafia nggih?" Tanyaku sambil menulisnya di formulir pendaftaran santri
baru.
"Nggih,
mas...." Jawab Nur tetap sambil menunduk.
Suara itu terdengar
biasa saja di telingaku, tak ada yang istimewa dari suaranya. Setelah semua
kolom terisi, aku menyodorkan formulir itu untuk ditandatangani oleh calon
santri dan walinya. Setelah tertanda tangani, segera formulir itu aku selipkan
di buku induk untuk nanti kusalin datanya.
"Sementara
sampun cekap, pak. Tapi nanti tetap harus menyusulkan foto tiga kali empat dua
lembar dan empat kali enam dua lembar, untuk rapot dan buku induk, pak."
Jelasku pada pak Khotib.
"Nggih mas,
nanti kapan2 pas saya ke pasar tak mampir. Fotonya sudah ada mas, tapi lupa
nggak dibawa". Jawab pak khotib.
"Oh nggih,
pak. Nanti njenengan saya antarkan ke pondok putri agar mbak nur segera
dicarikan kamar oleh pengurus pondok putri." Terangku pada pak khotib.
Keduanya kuantarkan
sampai depan pintu depan pondok putri, tas punggung besar digendong Nur sedang
satu kardus di bawa pak khotib. Sedianya aku ingin membantu, tapi beliau tak
mengizinkan. Senyum manis Jannah mbak lurah pondok putri menyambut langkah
gamang Nur dan segera tangannya menjinjing kardus di depan pintu.
"Titip Nur ya
mbak, mohon ajari dia bagaimana kehidupan pondok agar dia bisa mandiri"
kata pak Khotib pada jannah.
"Nggih, pak.
Sareng-sareng sinau." Jawab jannah dengan lembut.
Aku hanya berdiri
di belakang pak khotib dan sekali melempar senyum pada lurah pondok putri yang
sejak lama kukagumi. Sifatnya yang dewasa dan lembut menjadi dambaan semua
santri. Bukan cantiknya yang membuatnya menjadi calon istri paling favorit di
kalangan santri putra, tapi keprigelannya yang membuat dia jadi idola. Jannah
adalah santri paling senior diantara santri-santri putri lainnya. Selain karena
cekatan dalam segala hal, Jannah sangat disayangi ndalem. Mungkin karena ayah
dan ibunya telah meninggal semenjak dia kecil. Dia tak punya kakak ataupun
adik, satu-satunya garis keturunan dari ayah dan ibunya. Ibu dan ayahnya dulu
juga nyantri di sini, bahkan keduanya juga santri ndalem. Mbah nyai sudah
menganggap jannah bagian dari keluarga ndalem. Setiap ada acara keluar, Jannah
selalu diajak.
Nur bersalaman
dengan ayahnya setelah sebelumnya diwanti-wanti agar serius ngaji dan
sekolahnya. Aku kembali ke kantor pondok bersama pak Khotib. Pak Khotib pulang
mengendarai motor supra tahun lama yang suaranya sudah serak seperti suara
adzannya mbah Imron setiap Shubuh di musholla dusun sebelah.
Aku hanya memendam
kagumku pada Jannah jauh di lorong hatiku. Nyaliku ciut jika harus bersaing
dengan kang Ahsan lurah pondok putra yang terkenal paling matang ilmu nahwu
shorofnya. Pilihan paling aman adalah berdo'a agar lawan tumbang tanpa
diserang.
Jannah menjadi
teman dekat dan kakak bagi Nur. Selain Nur satu kamar dengan Jannah, Nur
mengikuti jejak Jannah menjadi santri ndalem. Keprigelan Jannah diturunkan pada
Nur, walaupun lebih gesit Jannah tapi sebagai santri yang baru satu tahun Nur
menjadi santri teladan di pondok. Keduanya seperti pinang dibelah dua,
sama-sama cantik dan prigel. Walaupun aku tetap menomer duakan Nur.
Do'aku terkabul
juga, kang Ahsan rival utamaku tumbang. Dia yang seorang Gus dari salah satu
pondok di kabupaten temanggung akhirnya menikah dengan seorang ning dari
Banjarnegara yang nyantri di pondok ayahnya. Kemenangan akhirnya berpihak
padaku, lawan-lawan lain kurasa tak ada yang seberat kang Ahsan. Batinku
bersorak-sorai, kesempatan emas bagiku untuk meraih calon istri idamanku.
Dua bulan sudah aku
merasa menjadi kandidat utama. Setiap kesempatan aku gunakan sebaik dan
seefektif mungkin. Walau hanya sekedar melempar senyum, atau menyapanya. Seakan
diatas angin, percaya diriku semakin membumbung.
Sampai sore itu
sehabis ngaji tafsir yasin di ndalem, aku duduk di kantin pondok ngopi dan
merokok menunggu maghrib.
"Kang, sudah
dengar kabar belum?" Tanya seorang pengurus pondok yang juga ikut ngopi
bareng.
"Kabar apaan?
Aku nggak suka nggosip, ra ilok." Jawabku sambil menghembuskan kepulan
asap tujuh enam kretekku.
"Elah jan....,
ini serius.... kok malah guyon sampeyan ini. Gus kita Gus Anis putra ragil mbah
kyai itu bulan depan mau nikah." Katanya serius sambil menikmati gorengan.
"Oh.....
itu.... aku sih cuma dengar-dengar sedikit dari celotehan santri-santri pas
ro'an kemarin." Jawabku sambil menyerutup kopi.
"Masyaalloh.....,
sampeyan ini gimana sih? Kok biasa-biasa aja, kayak nggak terjadi apa-apa"
katanya dengan nada geram dan geleng-geleng kepala.
"Kang.....,
memagnya kenapa? Apa yang aneh? Gus Anis itu usianya sudah 28 tahun. Usia yang
cukup matang untuk menikah. Dari ketiga putra dan putri mbah kyai, tinggal
beliau yang belum punya pasangan. Gus Ato' sudah nenikah dan punya dua anak,
sayangnya beliau dipek mantu Kyai Badri yang hanya mempunyai satu putri,
akhirnya yang meneruskan Kyai Badri yaa Gus Ato'. Sedang Ning Halimah dipek
mantu oleh Kyai Badar dan juga tinggal di sana. Sudah saatnya mbah Kyai
mempersiapkan penerusnya untuk melanjutkan perjuangannya." Jelasku panjang
lebar.
"Kang.....!!!"
Teriaknya hingga beberapa santri menoleh kepada kami. Sesaat dia agak terdiam
menyadari keributan yang dia sebabkan.
"Bukan itu
masalahnya, kalau itu semua orang juga tahu." Katanya setengah berbisik.
"Terus....?"
Tanyaku agak serius dan kumatikan puntung rokokku.
"Oalah.....,
jadi sampeyan benar-benar belum tahu to? Calon istrinya itu bukan ning dari
pondok lain ataupun santri dari pondok yang Gus Anis pernah ngaji di sana. Tapi
bu lurah." Jelasnya sambil mendekat ke arahku.
"Maksudnya?
Aku belum mudeng apa yang kamu katakan" kataku masih sambil mengunyah
gorengan dan menyulut rokok terakhirku.
"Bu lurah mana
lagi kalau bukan bu lurah kita, Jannah." Tegasnya.
Bagai tersengat
listrik dengan tegangan jutaan volt, jantungku seakan berhenti dan dadaku
seakan meledak. Gorengan yang tak berdosapun tak kuasa ku telan, kopi hitam
maniskupun seakan tawar. Gemuruh hujan dan suara aliran sungai di belakang
kantinpun seakan lenyap. Segalanya menghilang entah kemana, bahkan suara santri
di depanku yang masih terus nerocos tak terdengar lagi. Sampai setelah sholat
maghrib dan isya'pun aku belum benar-benar sadar dari keterkejutanku. Jika saja
aku sholat munfarid mungkin maghribku bisa lima roka'at.
Selama satu minggu
aku tak berani pergi ke ndalem seperti kemarin-kemarin, bahkan ngaji tafsir
yasinpun tak aku ikuti. Jadwal ngajarku di madrasahpun aku badalkan pada
pengurus lain. Aku lebih memilih ijin pulang dengan alasan sedang tidak enak
badan. Satu minggu pula aku di rumah untuk merenungi apa yang terjadi. Sebenarnya
aku hanya ijin tiga hari, tetapi aku merasa belum bisa menerima pahitnya
kenyataan ini. Di rumah aku tak pernah bisa tertidur pulas saat malam sampai shubuh. Setiap
sholat malam tangisku selalu tak terbendung. Selama itu pula tak ada isyaroh
apapun dari hasil do'a dan tangisku.
Aku menyerah dan
kembali pulang ke pondok. Biar saja apa yang akan terjadi padaku nanti. Selama di
perjalanan aku lebih memilih diam dan merenung. Sesampainya di pondok aku
berjalan dengan pikiran kosong dan langkah rapuh. Kusempatkan mampir ke warung
mbak Mur seberang jalan untuk membeli rokok dan kopi kemasan. Gerbang pondok
terasa tak seangker biasanya. Aku tetap menunduk dan tak menghiraukan apapun
saat berjalan di depan pondok putri. Aku takut jika saja Jannah ada di sana.
Atau dia mungkin sudah pulang untuk persiapan pernikahannya. Secara, sekarang
dia sudah benar-benar jadi calon pengantin calon istri, dan itu bukan calonku.
Hatiku tambah tersayat. Setelah melewati pelataran masjid, kini langkahku
terasa semakin berat. Halaman ndalemlah yang harus aku injak, kakiku seakan
nyeri saat melangkah.
"'id....
Sa'id.....!!!"
Suara lirih penuh
wibawa memanggilku dari belakang. Saat kutolehkan badan terlihat sosok tua
namun tetap gagah di usianya yang sudah senja. Mbah kyai yang memanggilku,
segera aku bergegas datang merunduk dan cium tangan padanya.
"Kamu kok lama
sekali di rumah, pamitnya kan cuma tiga hari to?" Tanya mbah kyai padaku
sambil berjalan merangkul pundakku.
"Nggih, yai.
Anu..... Baru saja agak mendingan" jawabku sambil menunduk dan berjalan
berdampingan dengan mbah kyai. Padahal sebelumnya aku belum pernah berani
berjalan berdampingan dengan mbah kyai, tapi apalah daya, rangkulan asto mbah
kyai di pundakku yang memaksanya.
"Ingat id yang
namanya jodo itu sudah ada yang ngatur, nggak bakalan ketuker. Pilihan Gusti
Alloh mungkin berbeda dengan angan kita, tapi tetap pilihan Gusti Alloh lah yang
terbaik buat kita" tutur mbah kyai kepadaku sambil tersenyum dan menepuk
pundakku.
"Yo wis,
sekarang kamu ke pondok dulu sana. Istirahat dari perjalananmu, tapi nanti
habis isya' kamu ke ndalem ya." Dhawuh mbah kyai sambil berlalu masuk
pintu ndalem.
Aku agak bingung
dengan ngendikan mbah kyai barusan. Apa mungkin mbah kyai mengetahui apa yang
aku rasakan dan alami. Kupercepat langkahku agar segera sampai gothak pojok
kulon tempatku. Aku tertidur pulas setelah berhari-hari tak bisa menikmati
tidur nyenyak. Aku tak tahu kenapa, setelah bertemu dengan mbah kyai tadi
serasa ringan bebanku. Rasanya tak seberat dua minggu ini, dadaku tak terasa
sesak lagi. Sampai adzan ashar membangunkanku. Kubugarkan badanku dengan
guyuran dingin air kolah pondok di sekujur tubuhku. Aku merasa ada yang aneh
dalam diri, otak dan hatiku. Dua minggu aku merasa bingung, sedih, kecewa
bahkan marah. Selama dua minggu tak kutemukan jawaban logika ataupun bisikan
isyaroh ghoibnya. Tak kuambil pusing apa penyebabnya, yang penting aku merasa
seperti ada yang mentrasfer energi positif padaku.
Sehabis sholat
isya' aku berjalan cepat menuju gothak. Setelah berdandan rapi karena mau
ditimbali mbah kyai, segera kuraih bungkus rokok dan korek bensol pasangannya.
Sebelum kumasukkan dalam kantong baju kokoku, sejenak kupandangi.
Batinku......, Jika korek ini Jannah maka rokoknya bukan aku tapi Gus Anis.
Ah......, Mengapa otakku malah sampai kesana?, Padahal ini kan rokok dan
korekku sendiri. Masa bodoh koreknya mau siapa, yang penting rokoknya adalah
aku. Senyum semangatku mulai sudi tersungging dibibirku. Berjalan pelan sambil
mengandai-andai dhawuh apa yang nanti akan diberikan mbah kyai padaku.
"Kang....,
Sudah ditunggu abah." Suara dari depan ku yang tak kusadari kehadirannya.
"Oh... Nggih,
gus." Jawabku agak canggung. Karena yang berada di depanku itu adalah Gus
Anis calon suami Jannah.
"Kemarin
sempat tak cari-cari sampeyan ini. Ternyata katanya belum balik ke pondok.
Sakit apa sampeyan to? Sudah sehat sekarang?" Tanya gus Anis sambil memegang
kitab tafsir jalalain.
"Cuma meriang,
gus. Alhamdulillah sudah sehat." Jawabku.
"O.... Ya
alhamdulillah. Aku ke madrasah dulu." Kata gus Anis sambil berlalu pergi.
"Monggo,
gus" jawabku sambil berjalan menuju ndalem.
Sejak kepulangan
gus Anis dari Jawa Timur, beliaulah yang sekarang banyak menggantikan posisi
mbah kyai. Sosok muda yang alim dan berwibawa seperti abahnya.
"Assalamu'alaikum"
ucapku sambil berdiri di depan pintu yang sudah terbuka.
"Wa'alaikumsalam"
jawab mbah kyai sambil menutup kitab di tangannya dan menengok ke arah pintu.
"Sini id....
Masuk." Kata mbah kyai.
Akupun duduk di
depannya sambil masih tertunduk.
"Nduk.....,
Bikinkan kopi ya...." Perintah mbah kyai pada santri yang berada di dapur
ndalem. Dadaku kembali berdegub tak berirama, rasa yang tadi sudah hilang dan
musnah kini tiba-tiba datang kembali. Apa yang akan terjadi padaku jika yang
keluar dari tirai itu adalah Jannah nanti. Apa yang harus aku lakukan, harus
bagaimana sikapku. Aku menunggu dengan cemas saat-saat itu.
"Id.....,
Sekarang ini santri yang paling besar adalah kamu, setelah Ahsan menikah
beberapa waktu yang lalu. Sedangkan lurah pondok belum ada yang menggantikan.
Mau ndak mau kamu yang harus mengemban tugas lurah pondok." Kata mbah kyai
padaku.
"Maaf,
yai..... Apakah tidak sebaiknya kang Tarom atau kang Zidni saja yang menjadi
lurah. Mereka kan juga hampir sepantaran dengan saya, yai...." Usulku pada
mbah kyai.
"Id.....,
Kemarin aku sudah rembugan sama mereka dan semua pengurus tentang lurah pondok.
Keduanya tidak sanggup menjadi lurah. Tarom ndak berani karena dia kan nyambi
kerja di tokonya kaji Tofa, sedang si Zidni dia memilih jadi sekretaris saja.
Katanya ingin lebih mendalami belajar komputer, kan kamu yang ngajari dia
ngetik to? Bahkan seluruh pengurus yang lainpun sepakat mengusulkanmu."
Jawab mbah kyai sambil menyulut dji sam soe kreteknya.
"Waduh....,
Wah temen-temen curang itu namanya. Malah saya yang dikorbankan." Jawabku
sambil cengengesan.
Sontak mbah kyai
terbahak-bahak mendengar jawabanku.
"Salah sendiri
liburnya kepanjangan. Yang penting diniati khidmah, ini tugas dan tanggung
jawabmu" timpal mbah kyai masih sambil tersenyum.
"Ndherek
dhawuh, yai. Mohon do'anya, semoga saya amanah dalam menjalankan tugasa
saya". Pintaku pada mbah kyai.
Pandanganku tiba-tiba
teralih pada tirai pintu yang bergerak terbuka perlahan-lahan. Dag dig dug
hatiku menunggu sosok yang akan keluar dari balik tirai itu.
Perlahan tirai
terbuka dan jilbab coklatpun terlihat. Dan....., ternyata bukan Jannah yang
keluar dari pintu membawa dua gelas kopi itu, wajah itu adalah Nur yang satu
tahunan lalu masuk pondok. Memang sejak ayahnya meninggal, mbah nyai sangat
menyayanginya. Setelah kopi ia letakkan di depan kami, segera ia mundur
perlahan. Sebelum dia benar-benar hilang di balik tirai, sempat kulihat lirikan
matanya tertuju padaku dan senyum kecilnya pun tergambar di bibirnya. Ada
sedikit getar berbeda di dada ini setelah terguyur senyumnya.
“Kopinya disambi,
id....” dhawuh mbah kyai sambil meminum kopinya.
“Nggih, yai....”
sambil kuminum kopi hitam panasku dan kusulut rokok tujuh enam filterku.
“Oh ya, id....
selain itu, aku juga mau minta tolong padamu. Dua minggu lagi aku mau
menikahkan Anis dengan Jannah. Jadi semua hal yang harus dipersiapkan aku
serahkan padamu. Biasanya ac itara mauludan, khataman, rajaban dan acara lainnya
kan kamu yang mandegani.” Kata mbah kyai.
“Nggih, yai.....
nanti tak rembug sama pengurus lain.” Jawabku singkat.
“Id....., kamu
jangan berpikir untuk nikah dulu ya...., minimal satu tahun ini kamu masih
tetap jadi lurah, biar mateng dulu ilmumu. Juga biar aku nggak kesusahan mencari
penggantimu kelak.” Nasihat mbah kyai padaku, aku hanya manggut-manggut
mendengarnya.
“Udah punya
calonnya belum, id?” tanya mbah kyai menggodaku.
“Belum ada
pandangan, yai. Dan belum yakin betul kalau ada yang mau sama saya, yai.”
Jawabku sambil sedikit nyengir tak berdosa.
“Ya udah...., nanti
kalau memang sudah waktunya tiba, aku carikan calon saja, dari pada kamu nyari
sendiri nggak dapet-dapet.” Sahut mbah kyai sambil tersenyum lebar.
Setelah lama
berbincang-bincang dengan mbah kyai, aku berjalan kembali ke gothak. Saat sampai
di depan madrasah, aku sempat berhenti sejenak dan melihat ke arah Gus Anis
yang sedang menerangkan entah bagian mana dari tafsir jalalain. Perhatianku
tertuju bukan pada ngajinya, tapi hanya pada sosok yang memegang kitab itu.
Dialah yang akan nantinya menjadi imam Jannah, dialah yang dua minggu lagi akan
menjabat tangan wali nikah dan berucap “Qobiltu”, dia juga yang akan bersanding
dengan jannah di pelaminan, bukan aku. Sedih, kecewa, bahkan marah hatiku ini,
tapi dialah sosok yang paling tepat untuk menjadi calon suami Jannah. Masa
depan Jannah tentu akan jauh berbeda jika menjadi istriku. Kubaringkan tubuhku
di gothak, kupejamkan mataku walaupu masih jauh dari rasa kantuk.
Perlahan-lahan rasaku mulai tenang kembali, setelah tadi sempat bergejolak.
Benar kata mbah kyai, jodoh nggak mungkin tertukar dan aku yakin jodohku sudah
ada entah di mana. Jika bukan aku yang datang padanya, maka dia yang akan
sampai kesini. Aku bahagia dan ikut bahagia jika yang menjadi pendamping hidup
Jannah adalah Gus Anis. Dia akan mendapat pendamping yang terbaik di hidupnya,
aku ridlo karena aku menyayanginya dan menginginkan orang yang aku sayangi
hidup bahagia.
Aku mendengar
langkah-langkah kaki santri sepulang mengaji, tapi aku tetap pejamkan mata agar
dikira mereka aku sudah tertidur lelap. Ada yang terasa agak aneh di otakku.
Aku malah teringat pada senyum Nur di ndalem tadi, senyum yang tak bisa
kuartikan dengan logikaku. Biasa saja, tapi ada arti yang terbaca olehku. Ah….,
itu mungkin gara-gara otakku lagi konslet belakangan ini.
Pernikahan gus Anis
dan ning Jannah pun terlaksana dengan lancar, tanpa ada acara pesta megah hanya
acara pengajian yang dihadiri kyai pondoknya gus Anis dari Jawa Timur. Waktu
berjalan seperti biasa, kegiatan pondok seperti kemarin-kemarin. Aku tetap
menjadi santri ndalem walaupun kini menjabat sebagai lurah pondok. Karena
santri ndalem yang kesehariannya jika tidak sedang ngaji berada di ndalem, maka
aku sudah sangat terbiasa bertemu dengan ning Jannah. Kami malah lebih akrab
daripada dulu, walaupun dulu kami teman tapi sekarang aku tetap menghormatinya
sebagai putri mantu mbah kyai. Tapi dia tidak pernah mau dipanggil dengan
sebutan ning, karenanya santri-santri memanggilnya dengan sebutan mbak Jannah.
Berbeda denganku, aku tetap memanggilnya “bu lur” karena itu panggilanku
padanya sejak dulu walaupun kini lurah pondok putri telah digantikan oleh Nur
yang juga santri ndalem sepertiku.
Suatu waktu, sepulang
dari ladang mencari rumput untuk pakan ternak mbah kyai, aku masuk ke dapur
untuk mengambil minuman. Ternyata mbah kyai, mbah nyai, ning Jannah, Gus Anis
dan Nur berada di dapur. Mereka duduk-duduk sambil bersendau gurau di sana.
“Nah…, panjang
umur…. ini dia yang barusan dibicarakan dateng.” Kata ning Jannah disambut tawa
semua penduduk dapur kecuali Nur, dia hanya tersipu dan bergegas mengambilkan
gelas di rak.
“Gitu dong…. Bu
lurah bikinin kopi buat pak lurah…..” sahut gus Anis ditambah semakin tertawa
semuanya bahkan mbah kyai yang jarang aku lihat tertawapun ikut tertawa. Aku
hanya cengar-cengir bingung sendiri, sedangkan Nur semakin merah padam
wajahnya.
Sejak saat itu,
setiap bertemu denganku di ndalem selalu ada sikap yang berbeda. Bahkan
kudapati beberapa kali dia memandangku dengan pandangan yang tak biasa dan
diakhiri senyum. Akupun pura-pura tak menyadarinya. Aku terus berpikir keras,
apa kiranya yang mereka bicarakan kala itu. Yang pasti antara aku dan Nur lah
yang mereka bicarakan. Semakin hari berlalu, ada benih perasaan yang tak biasa
di hatiku pada Nur. Mungkin itu rasa sayang atau sejenisnya, aku belum bisa
pastikan itu. Tapi…., ayu wajahnya, senyumnya dan candanya sering terngiang di
benakku sesaat sebelum tidur.
Waktu berlalu terasa
indah setiap harinya. Pak lurah dan bu lurah selalu jadi bahan guyonan di dapur
ndalem. Sedang aku diam-diam berharap ini menjadi nyata suatu saat nanti.
Lambat laun kekagumanku tumbuh pada Nur bu lurah pondok putri ini. Satu setengah tahun sudah pernikahan gus Anis dan ning Jannah berlalu.
Lukaku pun telah sembuh dengan hadirnya Nur di hatiku. Walaupun aku tak juga
berani mengutarakan isi hatiku. Bukan hanya takut terluka lagi, tapi juga
menjaga namaku sebagai lurah pondok.
Malam itu aku berjalan dari madrasah menuju pondok sehabis ngaji tafsir
jalalain yang diampu oleh gus Anis. Sebelum aku jauh dari pelataran madrasah,
terasa ada tangan yang menempel di pundakku.
“Kang…, tadi abah pesen…, sampeyan di suruh ngopi di ndalem sama abah.” Kata
gus Anis dengan senyum ramahnya.
“Nggih, gus. Saya tak menaruh kitab dulu di gothak.” Jawabku sambil
berbalik ke arahnya.
“Ya sudah, cepet ya…. Ada kopi spesial pokoknya” kata gus Anis sambil
tertawa kecil dan berjalan menuju ndalem.
Secepat kilat aku taruh kitabku di atas lemariku. Setelah kurasa rapi
peci dan bajuku, segera
kulangkahkan kaki menuju ndalem.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku sambil mengetuk pintu ndalem.
“Wa’alaikumsalam, masuk id….” Jawab mbah kyai ramah seperti biasanya.
“Duduk sini…… agak lama kita nggak ngobrol santai sambil ngopi.” Kata
mbah kyai sambil tersenyum.
“Itu tadi sore dibelikan mbah nyai, setelah kamu antarkan dia kondangan
tadi, tapi belum sempat dia berikan padamu” timpal mbah kyai sembari menyodorkan
rokok tujuh enam filter padaku.
“Nggih,
matunuwun, yai.” Jawabku menerima pemberian mbah nyai itu dan segera
kupasangkan dengan korek bensolku.
“Nduk…., bikin kopi dua ya……!” kata mbah kyai sambil berdiri di pintu
dapur.
“Gimana keadaan pondok, id?” Tanya mbah kyai sembari duduk bersila di
depanku.
“Alhamdulillah, yai. Semua baik-baik saja, Cuma kemarin sempat ada
santri yang sakit demam tapi sudah diantar ke puskesmas dan sekarang sudah agak
mendingan.” Jawabku.
“Alhamdulillah kalau sudah sehat, lha siapa yang sakit?” Tanya mbah
kyai.
“Munir, yai. Santri kelas satu tsanawiyah, baru tiga bulan di pondok.”
Terangku.
“Oh…, santri baru itu. Mungkin ini ujian pertamanya masuk pondok, dia
mau betah atau tidak.” Kata mbah kyai.
Tak seperti biasanya, mbah kyai diam beberapa saat dan pandangan matanya
tak tentu arahnya. Sepertinya ada sesuatu yang agak membebani pikiran beliau.
Kami berdua hanya diam, akupun hanya sesekali menghisap batang tujuh enam
filter pemberian mbah nyai tadi. Kebuntuan yang terasa canggung itupun mencair
saat Nur keluar sambil membawa kopi dan dihidangkan di hadapan kami. Kali ini
senyum Nur tidak terlihat, raut wajahnya agak kaku dan merah. Entah ada apa
dengannya, mungkin sedang tidak enak badan atau kecapekan.
“Nah ini dia jodohnya dateng……” kata mbah kyai sambil mengambil segelas
kopi sambil meminumnya. Sontak wajah Nur semakin merah padam.
“Rokok tanpa kopi itu jomblo namanya, ya kan id? Sambung mbah kyai tapi
sambil melirik kearah Nur yang segera mundur ke dapur lagi.
“Nggih, yai….” Jawabku tanpa beban.
“Gini, id……” kata mbah kyai sambil menghela nafas dan melirihkan
suaranya.
“Kamu ingat? Satu setengah tahun yang lalu, menjelang pernikahan Anis,
aku pernah berkata padamu kalau jodoh itu nggak bakalan ketuker?” Tanya mbah
kyai. Akupun hanya mengangguk.
“Sebelum aku memutuskan untuk menikahkan mereka, aku melakukan
istikhoroh. Dan isyaroh yang kuterima dari mimpiku aku melihat Anis
bergandengan tangan dengan Jannah dan mereka berdua tersenyum. Tapi ada yang
mengganjal hatiku, aku melihatmu dalam mimpiku dan terlihat sangat sedih.
Sampai tiga malam berturut-turut dengan isyaroh yang sama. Aku tahu maksud dari
mimpiku itu. Berhari-hari aku merenungkan hal itu. Sampai kuputuskan untuk
istikhoroh lagi, tapi kali ini bukan untuk Anis, melainkan untukmu. Dan isyaroh
yang kuterima aku melihatmu duduk berdua dengan seorang gadis santri pondok ini
dan itupun berulang sampai tiga hari berturut-turut pula.” Cerita mbah kyai
panjang masih dengan suara yang lirih, mungkin hanya kami berdua yang
mendengar, sedang aku hanya bisa tertunduk tanpa berani mengangkat kepala.
“Id…., umurmu sudah matang untuk menikah dan calonmupun sepertinya sudah
siap. Apakah kamu belum berpikir untuk menikah?” tanya mbah kyai dengan suara
agak sedikit keras dari sebelumnya.
“Nggih sampun, yai. Bahkan kemarin pas pulang, ayah saya juga sudah
menanyakan hal yang sama. Tapi masalahnya masih sama, yai. Belum menemukan
calon yang sekiranya mau dengan saya, yai.” Jawabku sambil agak malu-malu.
“Gini Id…. Seandainya aku punya calon untukmu apakah kamu mau menikah
dengannya? Sekiranya kamu merasa nggak cocok, ya nggak apa-apa. Wong ini Cuma
seandainya.” Kata mbah kyai pelan.
“Memangnya siapa, yai?. Saya ndherek dhawuh yai saja. Saya yakin pilihan
yai adalah yang terbaik untuk hidup saya kelak.” Kataku setengah mengangkat
wajahku.
“Gadis yang ada di mimpiku duduk bersamamu itu….. dia adalah Nur. Nur
Syafia lurah pondok putri yang selama ini membuatkanmu kopi sepulang dari
ladang dan yang masakannya kamu makan tiap hari. Dialah orangnya. Gimana
menurutmu, id?” Terang mbah kyai pelan dan gamblang.
Aku masih terdiam, merasa bingung bgaimana cara menjawabnya. Tak
dipungkiri aku sangat menyayangi dan mengagumi Nur. Dialah yang mampu mengisi
ruang kosong yang ditinggalkan Jannah.
“Gimana Id?” tanya mbha kyai sekali lagi lebih serius.
“Nggih, yai” jawabku agak gugup.
“Nggih gimana? Pikirkan dulu masak-masak sebelum mengambil keputusan.
Karena ini menyangkut masa depanmu kelak, dan yang akan menjalaninya kamu
sendiri. Kamu sendiri yang akan menanggung resikonya jika sampai salah
mengambil keputusan. Janganlah kamu menjalaninya terpaksa semata karena aku
yang mengajukan calon.” Nasihat mbah kyai sambil menghisap Dji Sam Soe
kreteknya.
“Nggih, yai. Saya menyukai Nur sejak lama dan saya sudah matur sama ayah
saya kemarin waktu pulang. Saya pun sebenarnya sedang menata rasa dan kata
untuk sowan matur sama yai tentang hal ini.” Jawabku sambil senyum-senyum
sendiri.
“Alhamdulillah…., ternyata benar apa yang menjadi isyaroh dalam
mimpiku.” Kata mbah kyai lega.
“Nduk…., keluar sini….!” Kata mbah kyai agak sedikit keras.
Muncullah sosok anggun dan ayu itu. Memakai jilbab kesukaanya yang
berwarna biru muda, baju putih dan sarung tuban berwarna biru. Wajahnya
terlihat berbeda, lebih ayu dari biasanya. Walaupun menunduk malu-malu, tapi
ada senyum yang terlukis di bibirnya. Ada bekas air mata di sudut matanya yang
belum sempat ia usap.
“Nduk…., kamu sudah dengar sendirikan jawaban calon suamimu….” Kata mbah
kyai sambil menatap wajah Nur yang semakin tertunduk.
“Sekarang aku ingin mendengar jawabanmu. Apakah kamu mau menikah dengan
Sa’id, menjadi pendamping hidupnya dan menjadi calon ibu dari anak-anaknya?”
Tanya mbah kyai pada Nur.
“Nggih….” Jawab Nur lirih dan sambil menganngguk pelan.
“Bener…? Mantep? Kamu siap menjadi istri dari Sa’id?” Tanya mbah kyai
sekali lagi.
“Nggih….” Jawab Nur sama dengan yang pertama.
“Kamu juga cinta sama Sa’id?” Tanya mbah kyai sambil tersenyum.
Kali ini Nur tidak menjawabnya dengan kata, hanya anggukan kecil
disertai senyum.
“Baiklah…. Id… Nur….. besok kalian berdua pulanglah dan rembug hal ini
dengan keluarga kalian. Jika keluarga sudah sama-sama sepakat, kedua keluarga
akan aku undang kesini. Secara resmi aku sendiri yang akan melamar ke keluarga
Nur. Sekarang kembalilah ke pondok dan istirahatlah, walaupun aku tahu kalian
berdua akan susah tidur malam ini.” Pungkas mbah kyai sambil tersenyum pada aku
dan Nur.
Kami berdua keluar bersamaan dari ndalem, di luar ndalem kami berdua
berdiri terpaku tanpa kata. Aku sendiri bingung apa yang akan aku katakan
padanya dan sepertinya diapun sama. Suasana sudah sepi, sepertinya semua santri
sudah lelap dalam mimpi masing-masing.
“Eh dik…. Kamu punya foto?” tanyaku sedikit canggung.
“Mmmm…. Ada mas, buat apa?’’ jawabnya masih sambil tertunduk.
“Aku minta satu untuk kubawa pulang, agar orang tuaku bisa melihat calon
menantunya.” Jawabku sambil menatap wajahnya.
“Iya juga ya, mas….. aku juga minta foto mas agar keluargaku bisa
melihat wajah calon suamiku.” Kata Nur sambil menatap wajahku dengan senyumnya.
“Baiklah, esok pagi sebelum pulang, kita saling bertukar foto.” Kataku
sambil melambaikan tangan layaknya di film-film romantis sedang Nur hanya
tersenyum dan bergegas berjalan menuju pondok putri.
Aku berjalan pelan menuju pondok sambil menjewer-jewer pipiku sendiri.
Masih belum percaya jika ini adalah kenyataan. Akhirnya apa yang aku damba dan
menjadi isi do’aku terkabul juga.
Esok paginya selembar foto aku serahkan dan mendapat tukar fotonya yang
disebaliknya tertulis “Nur Syafia”. Kami berpisah di jalan raya depan pondok,
aku harus menyeberang jalan untuk menunggu bis karena rumah kami berdua memang
berlawanan arah.
Setelah keluarga kami bertemu di ndalem, akhirnya disepakati enam bulan
lagi ditetapkan hari dan tanggal pernikahan kami. Tepatnya bulan Rabi’ul Awwal
tanggal tujuh belas yang akan menjadi hari suci kami berdua. Mbah kyai
menyarankan untuk tinggal di pondok dulu hingga lima bulan lagi sampai Haflah
Akhirussanah. Aku menunggu hari itu dengan harap dan bahagia. Enam bulan lagi
hidupku yang selama ini kujalani seorang diri akan dilengkapi olehnya…. Nur
Syafia……
Sekian
Tembelang, 27 Maret
2018
01:39 WIB
Komentar
Posting Komentar