Arsa
Segerombolan
awan tergulung di barat desa Jangkrikan, menjadi satir sebagian sinar sore.
Cahaya yang menguning menemaniku mandi untuk begegas menuju masjid Al-karomah
bersama santri-santri lain. Selepas jama'ah sholat asar semua santri putra
langsung duduk di serambi masjid, sedang santri putri pulang ke gothak berganti
kostum dan menyusul duduk disamping satir pembatas. Sedangkan aku sibuk membolak-balik kitab untuk menemukan sampai mana ngaji
kemarin. Sampai-sampai tak sadar semua santri sudah duduk di hadapanku. Dengan
rutinitas seperti biasa aku mulai ngaji sore ini. Setelah berapa bab aku baca dan terangkan, sesi
diskusi dimulai. Beberapa santri putra dan putri saling berpendapat, sedang aku
hanya diam memperhatikan mereka. Ada sedikit yang aneh, beberapa kali aku
melihat seorang santri putri memperhatikanku. Aku hanya pura-pura tak
menyadari, tapi diam-diam sesekali aku juga memandanginya. Saat mata kami
saling bertemu pandang, mataku langsung meloncat seribu arah. Sedangkan Arsa si
santri cantik ini hanya tertunduk malu, salah tingkah dan wajahnya mendadak
merona.
Setelah aku tutup
ngajiku dengan do'a, aku segera berlalu dari tempat dudukku secepat kilat menuju sandal jepitku yang terletak paling
selatan. Tapi karena tempat berlabuhnya sejoli sandalku sama sekali tak
strategis, maka aku menahan langkah memilih berdiri sejenak mempersilahkan
kerumunan santri putri mendahuluiku menemui sandal-sandal mereka.
"Mari...., Kang...." Sapaan lembut Arsa sambil tertunduk dan
tersenyum.
"Monggo....." Jawabku sekenanya.
Agak tergesa berjalan menuju kantor pondok yang terletak di timur ndalem
kidul. Tak terlihat lagi wajah ayu tadi, hanya jilbabnya yang terlihat.
Sampai di pojok barat ndalem kidul dia menoleh ke arah kantor dan
matanya seakan mencari sesuatu. Didapatinya wajahku yang memang sengaja berada
di situ memperhatikannya. Kembali lagi parasnya yang ayu itu merona, kembali
tertunduk dan segera terhalang bangunan separuh kayu itu. Sejenak anganku
membumbung beberapa centi di atas ubun-ubunku, membayangkan senyumya,
lirikannya wajah ayu itu. Kata “andai”-pun hinggap di benakku, “sepulang dari
sawah dengan membawa peluh dan pegal di seluruh tubuhku, wajah ayunyalah yang
menyapaku di balik pintu rumahku kelak”.
Sebenarnya Arsa adalah santri satu tingkat di bawahku, tapi karena umurku
yang terhitung peringkat ke dua paling tua, maka aku mendapat dhawuh
untuk ikut membantu mengampu salah satu jadwal ngaji sore di pondok. Secara
struktur aku tak tercantum dalam kepengurusan pondok, hanya saja pak kyai
sering dhawuh untuk mengerjakan beberapa tugas kesekretariatan padaku.
Jam berlalu hari berganti bulan demi bulan terlewati, tak terasa satu warsa
aku tinggal dan menimba ilmu di pondok ini. Keakraban antara kami sudah terjalin,
walaupun masih sebatas menyapa jika berpapasan karena aku santri ndalem kidul
yang bergandengan langsung dengan pondok putri. Sudah tak terlihat lagi
kekakuan yang dulu terlihat jika dia kebetulan berpapasan denganku.
“Yang bersih ya kang nyapunya, ntar sekalian halaman pondok putri ya....”
ledek cah ayu idamanku yang berseragam sekolah pagi itu. Rapi, bersih dan
wangi, bahkan setelah sepuluh meter berlalupun aromanya masih tersisa. Tapi
sekuat tenaga dan pikiran aku sembunyikan dan kubur dalam-dalam perasaan ini.
Bukan hanya berusaha taat pada peraturan pondok, akan tetapi nyaliku yang masih
sangat kerdil. Ditambah setahunan yang lalu aku pernah nekat menyatakan cinta
pada salah satu santri putri dan berakhir dengan ditolak. Pikirku, dia masih sekolah
tingkat akhir dan sebentar lagi ujian kelulusan maka aku tak boleh membebaninya
dengan urusan cinta-cintaan. Aku mulai gontai, setelah aku timbang dan renungi,
aku berkesimpulan tidak akan mungkin dia menerima pernyataan hatiku. Arsa adalah
anak yang pandai, cantik dan ramah baik di sekolah ataupun di pondok. Pastilah
dia mendambakan cowok yang seumuran dengannya. Di sekolahnya pastilah banyak
teman-teman pria yang menyukainya. Aku semakin merasa terpojok dan tak punya
harapan, apalagi di pondok aku bukanlah arjuna yang paling tampan ataupun
paling ‘alim yang hafal seribu nadzom Alfiyah. Sepertinya tanpa istikhorohpun
kemungkinan yang akan terjadi jika aku menyatakan perasaan, kemungkinan yang
paling besar dan mendekati kebenaran adalah kembali tertolak dan terluka.
Rasanya luka tahun lalu itu masih terbekas di dadaku yang tipis ini, mana
mungkin aku berani menyayatkan perih baru. Pilihan terbaikku adalah diam dan
membuang jauh angan setinggi langitku.
Walaupun aku belum pernah sekolah akting, tetapi kepiawaianku untuk
bersandiwara dan mengingkari hatiku berhasil dengan baik. Tak seorangpun tahu
tentang rasa yang terpendam itu, bahkan sahabat karibkupun tak tahu.
Sampai...., pelan-pelan rasa itu seakan tak nampak di permukaan hatiku.
Keputusan bulatku adalah menyimpan rapat-rapat rasa dan asa ini.
Entah lembaran takdir Tuhan halaman berapa tertulis garis pertemuanku
dengan calon istriku. Bukan hanya orang lain, akupun tak ternah berpikir dan
menyangka aku bertemu dengannya dan memutuskan untuk melamarnya, inilah yang
dikatakan takdir. Masih di tahun yang belum berganti aku menikah dengan gadis
yang belum sepenuhnya aku kenal dan kami bahagia. Kami dikaruniai seorang anak
laki-laki dan seorang anak perempuan.
Rasa itu lama sekali menghilang, delapan tahun tak mengambang di permukaan
seakan sirna ditelan masa. Hampir semua santri semasaku sudah menikah, termasuk
Arsa si ayu di masa laluku itu. Setelah jadi alumni kami masih beberapa kali
ketemu, entah acara Haflah, sowan lebaran, maulidan ataupun acara reuni alumni.
Sewindu sudah sayang itu aku pendam dan lupakan, tak ada apa-apa selama ini.
Sampai hari itu, kebetulan aku bertemu Ayu salah satu alumni seangkatan dengan
Arsa. Kami bercerita dan bercanda seperti biasa, padahal dulu saat di pondok
kami tak seakrab ini. Suami Ayu adalah teman dekatku dari dulu. Ngobrol kesana
kemari ngalor ngidul tidak pasti.
“Memang nasibku, yu..... dulu jaman dipondok nggak pernah punya pacar.
Nembak cewek tiga kali aja ketolak melulu, jadi nggak punya kenangan cinta
seperti temen-temen lain” kataku menyambung ceritanya.
“Ah..., jangan gitu kang. Dulu ada yang suka sama njenengan kang.” Jawabnya
sambil senyum-senyum.
“Fitnah itu, yu. Nggak mungkinlah, kalau aku ketolak tiga kali memang iya
dan itu kenangan pahitku” tukasku sambil tertawa.
“Kok nggak percaya....!!! orang dulu dia curhat sama aku kok. Kan aku yang
teman dekatnya” tegasnya.
“Bohong ah..... nggak percaya...!!!” sahutku.
“Eh dibilangin, serius ini” jawabnya sambil tersenyum lebar.
“Yu....., yang bener? serius?” nadaku rendah agak serak.
“Ya iya, serius kang” jawabnya agak menyesal.
“Yu...., siapa yu orangnya? Tanyaku menelisik.
“Maaf kang, aku nggak berani bilang” jawab Ayu dengan muka pasi.
“Yu....., kumohon yu..... aku pernah di posisinya dan itu menyakitkan. Aku
hanya ingin tau, aku nggak akan ungkit itu karena itu juga lukaku. Aku mohon
banget, kamu kasih tau siapa dia. Biar minimal aku kirimkan bacaan fatikhah
untuknya sebagai penebusan dosaku padanya. Dan jika berkenan memberitahuku, aku
janji akan bacakan fatikhah buatmu tiga kali sehabis sholat Isya’ nanti dan
akan kujaga rahasia ini.” Pintaku.
“Tapi kang......, emmm tapi....., aku akan merasa bersalah jika bilang sama
njenengan” jawabnya bingung dan tambah pucat.
“Yu......, mulai hari ini njenegan malah membuat aku merasa sangat bersalah
seumur hidupku jika njenengan tidak mau memberi tahukan namanya. Yu...., Cuma
nama yu..... tak lebih” pintaku dengan tertunduk.
“Dia sahabatku, kang. Aku sangat bersalah padanya jika aku bilang sama
njenengan. Tapi aku bersalah juga jika tidak ngasih tau njenengan. Kang....,
sahabatku itu namanya Arsa” jawabnya lirih.
Aku tak bisa menjawab apa-apa, lidahku kelu. Wajah dan perasaan yang
sewindu menghilangpun tumpah ruah di dada dan benakku. Aku benar-benar tak
kuasa dengan keadaan ini. Wajahku masih tertunduk sampai beberapa saat,
bulir-bulir beningpun merembes dari kelopak mataku.
“Kang maafin aku kang, aku nggak ada niat untuk menyakiti njenengan, tadi
njenengan yang memaksa untuk harus tau namanya” kata ayu yang tambah bingung
lagi dan tak tahu harus berbuat apa melihat seperti ini.
Aku tegakkan wajahku tanpa kusapu linangan di pipiku.
“Yu....., nggak papa aku nggak papa kok. Aku bersyukur banget kamu sudah
memberitahuku nama itu, walaupun aku masih belum sepenuhnya percaya. Aku
bersyukur sekaligus terharu mendengar nama itu yang kamu sebut. Yu..... kamu
tau......? aku juga sangat menyayanginya, mengaguminya, dan mendambakannya”
jawabku disambut tangis ayu.
“Ya Alloh..., kang. Kenapa aku harus bilang sekarang, kalau saja aku bilang
dari dulu.” Kata ayu sambil terisak.
“Udahlah yu......, itulah takdir. Yang penting sekarang aku sudah tahu dan
lega. Dan sekarang paling tidak aku bisa mengirimkan fatikhah dan do’a
untuknya. Dan ini tetap akan jadi rahasia, biar hanya aku dan njenengan yang
tahu” kataku sambil menyeka basah pipiku dengan kedua tangan.
Arsa bukan hanya kenangan saja kini, tapi dia menjadi salah satu bagian
dalam sudut do’aku. Semoga semua bahagia dengan hidup dan harapannya
masing-masing. Kita tak dipersatukan dalam takdir suami istri, tapi kita
dipersatukan hati dalam takdir saudara dan sahabat.
Terimakasih Arsaku, warna birumu sudah menghiasi bagian hidupku.
Terimakasih Arsaku, namaku pernah kau tulis dihatimu.
Tembelang, 17 Maret 2018
04:47 WIB
Komentar
Posting Komentar