Kalam Biru



Setelah terbit pagi tadi, mentari terasa pelan beranjak meninggi. Jarum jam terasa lebih lambat berdetak. Seperti ada yang menahannya, atau hanya rasaku saja.
"Dhi...., Kamu nggak berangkat kerja?" Suara mas Wisnu dari halaman belakang.
Aku hanya tersenyum kecil dan berlalu menuju kamar mandi.
"Move on dong....! Tia memang bukan jodohmu, ikhlaskan saja.... Do'akan saja dia bahagia dalam rumah tangganya." Sambung teman kosku itu.
Aku hanya nggrundel dalam hati, kenapa nama itu lagi? Padahal sudah dua bulan berlalu sejak pernikahannya. Luka dalam hatiku terasa masih basah. Kekosongan otakku belakangan ini sebab utamanya adalah dia. Serasa cukuplah nama itu jadi masa lalu yang pernah indah saja, walaupun terasa perih saat kukenang.

Hanya kopi satu gelas saja tanpa sarapan, aku langsung menuju tempat kerjaku. Meluncur bersama si biru motor beat ku yang baru masuk angsuran ke 4 bulan ini. Melewati lalu lalang ketergesaan masing-masing dan keramaian kota Wonosobo.
Sampai di kantorpun aku masih terasa malas, lelah dan capek, padahal tadi ritual mandiku lebih lama dari biasanya. Seharusnya pagi ini aku merasa segar dan bersemangat. Atau mungkin gegara patah hatiku yang membuat semangatku terasa memudar warnanya. Di depan komputer aku terdiam lama, sesekali hanya membuka-buka folder tanggal kemarin mencari-cari sisa kerjaan kemarin yang belum terselesaikan. Ruanganku terletak di belakang, lokasi paling strategis untuk tetap bisa menikmati batang-batang rokok filterku.
"Mas...., tak buatin kopi spesial khusus buat njenengan" suara merdu yang memecah keheningan pagi itu.
"Wuih... Mantap ini. Tau aja kalau aku lagi pingin ngopi. Selain cantik, kamu ternyata cerdas juga ya...." Candaku pada Erni admin baru di kantorku.
"Mas ini.... Udah dibuatin kopi tapi malah ngeledek, bukannya terimakasih gitu...." Ujarnya sambil berlalu menuju meja kerjanya.
"Makasih ya, bidadari...." Kelakarku sambil tertawa.
"Ah telat....!" Jawabnya singkat.
Erni baru tiga bulan kerja di sini. Ia menggantikan admin lama yang resign karena melahirkan. Sejak awal kami memang sudah akrab dikarenakan dia memang ramah dan mudah bergaul dengan siapa saja.
"Er...., Kok motormu nggak ada di depan. Biasanya parkirnya paling nyusahin, di tengah nggak di pinggir sekalian juga nggak". Tanyaku sambil ke depan mejanya.
"Hehe.... Si hitam lagi sakit mas, dia lagi di rawat di bengkelnya mas Agus. Aku tadi ngangkot, padahal kemarin masih sehat tapi tadi pagi pas banget di depan bengkel malah mogok. Katanya sih apanya gitu yang nggak beres". Jawabnya panjang lebar.
"Kasihannya.... Biasanya bidadari itu turunnya dari kayangan, ini malah dari angkot....." Candaku bernada ketus.
"Tuh kan.... Lagi. Perasaan pagi ini aku diledekin terus sama njenengan. Huhhh....". Jawabnya sambil memalingkan wajahnya.
"Iya deh.... Maaf...., Sehari tanpa meledekmu itu terasa hampa. Nanti pulangnya tak bonceng aja, biar nggak usah ngangkot". Sambil mengirimkan file dari komputernya ke komputerku.
"Males ah.... Ntar pas turun suruh bayar lagi. Ogah....! Gajiannya masih dua hari lagi". Balasnya ketus.
"Nggak lah...., itung-itung barter sama kopimu tadi". Bisikku seraya menepuk pundaknya dan berlalu kembali ke mejaku.
Tak terasa sore segera menjelang dan seluruh karyawan berbenah untuk pulang. Aku sudah bersiap dari tadi, tapi aku masih menunggu Erni yang masih sibuk input laporan harian. Setelah kulihat Erni mematikan komputernya dan memakai jaketnya, segera kuhampiri dia.
"Neng....., tawaranku yang tadi masih berlaku lho. Yuk...., buruan ntar keburu hujan". Ujarku sembari memakai helm dan berjalan menuju parkiran.
"Siap...., Komandan". Seraya tangan Erni diangkat layaknya hormat pada pada bendera merah putih.
Tak banyak perbincangan antara kami selama perjalanan. Hanya sesekali saja ada tanya jawab. Tapi kurasakan kepalanya bersandar di punggungku. Seakan ada sesuatu dalam diamnya.
"Alhamdulillah...., akhirnya sampai juga....!". Kataku sambil menghentikan laju motorku.
"Lho kok...., Berhentinya di sini, mas?" Tanya Erni sambil clingukan.
"Masa nganternya cuma sampai sini? Wah.... pelanggaran ini". Sambungnya.
"Sssttt...., tenang saja mbak cantik. Aku tau kita berdua sama-sama lapar, suara perutmu tadi pas di kantor yang ngasih tahu. Maka kita makan nasi goreng dulu". Kataku sambil menempelkan jari telunjuk di bibirku.
Erni hanya tersenyum malu dan menundukkan wajahnya. Pipinya merona kemerahan menambah manis wajahnya. Entah kenapa selama ini aku tak menyadari ada bidadari ayu ada di dekatku. Selain cantik, dia juga baik pada siapa saja. Tutur katanya yang sopan dan senyumnya yang ramah membuat banyak lelaki yang mendambakannya. Tapi...., aku masih takut untuk melabuhkan hatiku. Bukan hanya karena takut tergores lagi luka yang masih basah ini, tapi aku takut menyakitinya. Aku belum bisa sepenuhnya merelakan kepergian Tia. Dan kebaikannya mungkin hanyalah perhatian biasa seorang teman dekat. Mungkin suatu saat nanti jika perih ini sudah sembuh, dialah yang akan mengisi kekosongan hatiku.
Semakin hari kedekatan kami semakin erat, bahkan beberapa kali Erni mampir ke kostku hanya untuk sekedar memberikan kopi oleh-oleh dari rumahnya di Temanggung. Saking dekatnya aku dan Erni, banyak orang yang menduga kami berpacaran. Bahkan ada seorang teman yang seakan canggung bertegur sapa denganku. Mungkin dia salah satu orang menyukai Erni. Aku sendiri merasa aneh dengan kedekatan kami ini. Padahal dulu aku jarang bisa dekat dengan seorang wanita.
Suatu sore sepulang dari kantor aku mengajak Erni jalan2 ke alun-alun kota. Sekedar melepas jenuh dari rutinitas pekerjaan. Aku memilih duduk di bawah pohon beringin sebelah timur. Selain tidak terlalu ramai, di sudut itu terasa lebih nyaman.
"Er...., dua hari ini kok kayaknya kamu kerasa agak berbeda ya...." Kataku membuka percakapan sambil ngemil kacang kulit yang kami beli barusan.
"Ah..... Enggak kok, mas. Mungkin perasaan mas aja." Jawabnya sambil mengupas kulit kacang tanpa menengok ke arahku.
"Tapi perasaanku mengatakan lain, Er.... Kulihat dua hari ini kamu sering ngelamun. Apa ada masalah? Jika aku bisa membantu, semampuku aku bantu." Kataku sambil kusandarkan tubuhku di sandaran bangku.
"Mmmm....., aku pingin cerita mas...." Ujar Erni terputus menghela napas sambil menatap jauh entah kemana.
"Mas...., dua hari yang lalu aku ijin dari kantor untuk pulang ke rumah. Sewaktu di rumah aku sempat disidang oleh bapak dan ibukku. Pertanyaan yang selalu ingin kuhindari adalah tentang nikah. Bukannya aku belum siap, tapi mas tau sendiri.... tak ada seorangpun yang saat ini dekat denganku." Lanjutnya sambil sesekali memainkan ujung bajunya. Sedang aku hanya mendengarkan dan sesekali menikmati cemilan.
"Mas....! Kok malah diem aja. Kasih solusi atau apa gitu....." Sergahnya padaku yang hanya diam.
Aku memelankan tempo kunyahanku dan berusaha menelannya sekali, walau sebagian masih terasa agak kasar.
"Yaa...., wajar saja orang tuamu menanyakan hal itu pada putri semata wayangnya yang usianya sudah tergolong matang dan siap berumah tangga. Tinggal sekarang bagaimana kamunya saja. Sudah pingin nikah apa belum." Jawabku datar.
"Iya juga sih....., tapi biar sajalah mas. Nanti waktu yang akan mengantarkan calon suamiku melamarku..... Hehehe". Kata Erni sambil tersenyum kecil.
"Kalau mas sendiri gimana?". Sambungnya.
"Gimana apanya?" Tanyaku seakan tidak tahu maksud pertanyaannya.
"Ya soal nikah..... Belum pingin nikah?" Tegasnya.
"Aku sih udah pingin banget nikah, membangun rumah tangga, mengarungi sisa umurku dengan seorang teman hidup dan bersama-sama meraih sukses" jawabku setengah berbisik.
"Tapi........" Kata-kataku terhenti.
"Tapi apa, mas?" Selanya penasaran.
"Tapi calon istriku belum ketemu yang mana. Semua wanita single atau janda muda bisa saja salah satu dari mereka adalah calon istriku, tapi entah siapa, dari mana dan kapan waktunya". Sambungku sambil cengengesan.
"Terlalu serakah sih, masa calonnya sebanyak itu" celetuknya.
"Serakah dari mana? Pacar satu aja nggak punya. Satu-satunya wanita yang mau dekat ma aku cuma kamu. Dan memang aku hanya mencari calon istri, setua ini sudah tak layak untuk pacar-pacaran kayak ABG". Celetukku sambil membuang muka ke samping.
"Aku juga termasuk kandidat calon istri mas apa nggak?" Tanya Erni sambil menatap mataku.
Erni bertanya dengan nada bercanda dan senyum canda juga, tetapi tatapan matanya serasa lain, tatapan matanya lebih dalam dari pertanyaannya. Sejenak aku meresapkan sinar pandangannya ke dalam seluruh tubuhku melalui tarikan nafas panjang. Sejurus aku palingkan kedepan dan kulemparkan pandanganku jauh kedepan entah berapa ribu mil.
"Jika kamu bersedia....., bersedia jadi calon istriku, calon menantu untuk orang tuaku, calon ibu dari anak-anakku" jawabku sambil tetap menatap ke depan dan sedikit meninggikannya.
Tetiba Erni tertunduk dan terdiam, rona wajahnya memerah seketika. Entah karena bingung atau apa.
"Maksud mas?" Tanya Erni lirih dan tetap menunduk.
"Er...., jika..... hanya jika saja kamu bersedia, maukah kiranya kamu jadi calon istriku?" Tanyaku membalas tanya Erni.
"Aku memang bukan siapa-siapa, kamu tau sendiri siapa aku, pekerjaanku, penghasilanku, pangkatku, latar belakang keluargaku dan segalanya tentangku apa adanya tanpa aku tutup-tutupi. Beginilah dan seperti inilah aku." Lanjutku.
"Mas serius?" Tanya Erni sambil menatap mataku sangat dalam.
"Ya....., Aku sangat serius. Perasaan ini sebenarnya sudah lama aku pendam, tapi baru hari ini aku mampu mengutarakannya" jawabku.
"Iya mas..... Aku bersedia, aku mau menjadi makmummu dan mengarungi bahtera rumah tangga bersamamu" jawabnya diiringi linangan air matanya.
"Bener... Nduk? Serius? Kamu mau menerimaku jadi calon suamimu?" Tanyaku penasaran seakan tak percaya.
Erni hanya menjawabnya dengan anggukan dan senyum yang terkembang di bibirnya.

........
Sebulan setelahnya, aku datang ke rumah Erni bersama keluargaku untuk melamarnya setelah sebelumnya aku melamarnya secara pribadi. Kami menikah dan dikaruniai tiga anak. Keluarga kecilku walapun hidup dalam kesederhanaan tapi penuh dengan kebahagiaan.
#kalambiru
Wonosobo, 23 Oktober 2018
23:43 WIB

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Biru

Ada Cinta di Hati Gus Irul