Ning Rohmah

Ning Rohmah

Pagi ini mentari tersenyum manis, tak seperti kemarin pagi yang berhias tangis gerimis. Seperti biasanya aku berjalan menuju sekolahku dengan semangat. Aku belajar di SMK Unggulan "Nurul Hikmah" yang sebelumnya mampir dulu di SMP Unggulan yang berlabel sama. Lima tahun sudah aku ngaji di pondok Nurul Hikmah dan belajar di sekolah yang bernaung di yayasan yang sama. Pengasuh pondokku termasuk kyai terkenal di Wonosobo. Walaupun santrinya tak sebanyak pondok Manggisan, Kalibeber ataupun Jawar, tapi nama Gus Jabbar tak asing lagi di dunia pondok dan santri. Selain sering diundang di acara-acara pengajian, beliau juga terkenal kejadugannya. Banyak yang berguru ilmu kebal dan kanuragan padanya. Dari silat Pagar Nusa sampai Banser semua mengenalnya, bahkan preman-preman seantero jagad Wonosobo segan padanya. Tak jauh garang dari ayahandanya sang putri semata wayangnya juga jago silat dan olah kanuragan juga.
Ning Rohmah menuruni darah pendekar dari kedua kakeknya. Keduanya adalah guru besar dunia kejadugan pada zaman penjajahan. Tak ada satupun santri bahkan gus yang berani meliriknya. Peringainya yang garang membuatnya dijuluki pendekar halilintar oleh teman-temannya. Dia tak pernah marah dengan sebutan itu. Tapi kegarangannya tak bisa menyembunyikan kecantikannya. Sedangkan aku tak pernah memandangnya dari kedua sudut itu, karena dia adalah ningku. Kegarangannya yang terkenal itu tak pernah nampak padaku, sedang kecantikannya aku tak berani melirik. Dia seangkatan denganku walaupun umurku satu tahun lebih tua darinya. Kecerdasan dan keramahannya yang membuatku kadang iri sekaligus kagum. Dulu saat menjelang ujian nasional saat SMPku, pernah diadakan belajar bersama semacam les untuk menghadapi kelulusan. Bukan guru atau ustadzah dari kelasnya yang mengajar les itu, melainkan ning Rohmah yang memori otaknya melebihi semua santri. Bahkan tak ada satu santripun yang hafalan nadhomnya sama dengannya apalagi melebihi.

Pagi itu aku melangkah dengan semangat menuju sekolah. Terasa tanpa beban dan was-was karena hari ini sama sekali tak ada tugas PR yang menindasku. Aku termasuk golongan menengah ke bawah dalam mata pelajaran apapun. Tak sekalipun aku pernah mendapat nilai sempurna. Yang paling aku suka adalah membaca novel dan menulis puisi. Berkali-kali aku menjadi juara lomba puisi di pondok, sepertinya hanya itu bakatku.

"Kang santri....." Suara merdu dari arah ndalem menghentikan langkahku.
"Nggih...." Jawabku sambil memutar arah tubuhku. Kudapati ning Rohmah melambai-lambai sembari memakai sepatunya yang sebelah kiri seraya berlari ke arahku.
"Tungguin aku, kang....." Sambil mendekat dan merapikan jilbabnya.
"Nggih, ning....." Jawabku menunduk.
"Mbok aku dibikinin puisi.... , Aku suka banget sama puisi-puisi sampeyan. Apalagi yang menang kemarin pas haflah itu. Judulnya apa ya.....?" Kata ning Rohmah agak terengah.
"Judulnya Melati, ning. Kalau bikin puisi buat ning saya malah bingung. Puisi tentang apa, ning?" Kataku sambil berjalan pelan.
"Waduh...., yang jago puisi kan sampeyan, aku kan cuma seneng baca puisi-puisi sampeyan. Tentang apa ya....? Daripada bingung...... tentang aku saja. Seniman kan pandai menggambar dengan kata, coba sampeyan bikinkan puisi." Pinta ning Rohmah padaku.
"Wah.... Nggak berani, ning. Takut kualat." Jawabku sambil tersenyum kaku. Padahal puisi melati itu berisi tentang dia.
"Kalau nggak mau....., sampeyan malah tambah kualat. Karena yang minta adalah aku. Kamu tau siapa aku...?" Gertaknya sambil mengacungkan kepalan tangannya ke arahku.
"Waduh....ning.... Jangan pake ngancam. Baiklah...., saya akan berusaha membuat puisi untuk njenengan semampu saya, tapi jangan pake kata kualat lagi ya....." Pintaku sambil menyatukan kedua telapak tangan di ujung hidung tanda memohon dan menyerah.
"Aku kasih waktu tiga hari, dan di hari itu jam segini sampeyan harus sudah menyerahkannya padaku, kalau tidak awas....!!!" Kembali lagi kepalan tangan kanannya mengarah ke mukaku dan dia berlalu pergi mendahuluiku.

Modar aku......, Gimana ceritanya seorang santri berani membuat puisi tentang ning-nya sendiri. Puisi-puisiku semua tentang cinta. Dalam kelaspun pikiranku melayang-layang entah kemana. Kugaruk-garuk kepalaku, kukorek-korek otakku, siapa tahu entah di sebelah mana ada ide dan solusi. Malam ini terancam tidak bisa tidur. Sudah puluhan kertas yang sudah ternoda kata yang tak bermakna kuremas sekenanya dan kulempar kearah tempat sampah gothakku. Untungnya malam ini seluruh penduduk gothakku tinggallah aku sendiri, sedang yang lain ijin pulang.

Pagi menjelang dan waktu yang sama di hari pertama dari tenggat waktu yang diberikan ning Rohmah padaku. Hari ini aku berangkat sekolah lebih pagi dari biasanya, agar tak menjumpai sang pendekar ayu itu. Mirip seperti maling yang sedang beraksi, langkah per langkah kuperhitungkan dengan cermat dan hati-hati. Setelah beranjak sejauh lima puluh meter dari ndalem sambil masih menoleh, rasanya baru lega sambil mengelus-elus dada. Alhamdulillah aman, mungkin ning Rohmah baru saja mulai bersiap ke sekolah. Aku harus menghindar sejauh mungkin, walaupun masih ada waktu dua hari lagi.

"Kang santri....!!!"
Suara lembut tapi membuatku terperanjat dari arah depanku. Ternyata ning Rohmah berada beberapa langkah di depanku. Dia berdiri memeluk buku pelajaran dan menatap heran padaku.
"Nggih...., ning...." Jawabku agak tersendat nafas yang memburu.
"Ada apa, kang? Kok kayak habis dikejar hantu, pucat gitu mukanya." Ning Rohmah sambil mengiringi jalanku.
"Nggak ada apa-apa ning, cuma tadi malam susah tidur. Perasaan biasanya ning Rohmah nggak sepagi ini berangkat sekolah." Kataku sambil menata nafas.
"Ya iya sih biasanya..., tapi hari ini aku piket kelas. Jadi harus berangkat pagi banget deh. Oh ya, dah jadi puisinya? Aku dah penasaran banget nih...." Kata ning Rohmah sambil tersenyum dan memandangku tajam.
"Be... Belum ning, masih proses." Jawabku gugup.
"Baiklah..... yang penting harus jadi puisine. Maksimal dua hari lagi." Kata ning Rohmah sambil berlalu mempercepat laju jalan menuju kelasnya.
Tiga hari berlalu sudah sejak ning Rohmah minta puisi dariku. Pagi itu aku berangkat seperti biasa. Berjalan pelan di depan ndalem, tapi tak ada penampakan apa-apa. Kulanjutkan perjalananku menuju sekolah dengan langkah kosong tak berarti. Tiba-tiba ada hentakan keras mendarat di pundak kiriku.
"Jalan pake ngelamun segala....!" Suara lantang tapi merdu ning Rohmah dari belakangku.
"Nggak ning...." Sambil menoleh ke arah ning Rohmah.
"Mana puisiku, aku sudah nunggu dari tadi. Awas kalau sampai belum bikin." Sambil menodongkan tinju mautnya.
"Maaf ning, saya sudah berusaha memutar otak dan tenaga semampu saya. Tapi saya hanya bisa menuliskan ini saja, tak lebih." Kusodorkan lipatan kertas HVS biru yang kupungut dari kantor pondok.
Secepat gerakan silatnya, ning Rohmah merebutnya padaku sambil berlari menjauhiku. Setelah beberapa puluh meter dia berhenti, menoleh dan tersenyum.
"Aku baca nanti di rumah aja, aku malu jika ada yang tahu nanti." Sembari ning Rohmah berlalu dari pandanganku.

Aku terdiam dan memaku di gerbang sekolah. Dalam benakku ada berjuta perasaan aneh yang bergejolak. Salah satunya rasa bersalah karena tiga hari ini selalu membayangkan wajah ning Rohmah untuk puisi itu. Apakah kiranya pantas puisi itu untuknya. Sedang jutaan perasaan aneh sisanya tak bisa kuartikan.
Segenap rasa penasaran dan keingin tahuan menemani ning Rohmah saat membuka lipatan demi lipatan kertas biru itu. Ada debar tersendiri saat semua lipatan terbuka.

Bagaimana aku akan melukismu dengan kata, sedang engkau adalah makna.
Bagaimana aku akan mengungkapkan cinta, sedang engkaulah rasa.
Mempuisikan dirimu adalah menyebut diriku sendiri.

                                                                                                          ~~~Sa'id~~~

Tak ada judul untuk puisi itu. Hanya ada nama di sudut kanan bawah "Sa'id". Selesai membaca tulisan itu, ning Rohmah tak juga mengerti. Dalam dadanya terasa ada getaran yang tak menentu. Sebenarnya dia tidak begitu terkesan oleh puisi yang dia tak mengerti artinya. Tapi dia semakin penasaran setiap mengulangi membacanya. Berulang-ulang kali dia membacanya, setiap selesai matanya selalu membaca kata "sa'id" dan setelah itu tersenyum sendiri. Seakan dia merasakan maknanya meski tak memahami kata-katanya. Bahkan malam itu Sa'id menemuinya dalam mimpi, di padang rumput hijau yang luas seakan tak bertepi, langit yang biru. Mereka berhadapan dan kedua tangannya saling berpegangan, mata teduh Sa'id menatapnya dan dia membalasnya dengan pandangan redup dan senyum bahagia. Tapi semua gambar indah itu buyar oleh adzan Shubuh masjid pondok. Entah kenapa sampai bangunpun dia masih merasakan kebahagiaan itu. Pagi itu terasa sangat cerah, hatinya berbunga-bunga entah kenapa.

"Kamu kenapa sih nduk? Kok perasaan dari tadi senyam-senyum sendiri. Bahagia banget." Ummi Alfiyah menegur putrinya.
"Nggak, mi. Cuma lagi seneng aja." Sambil salim cium tangan dan keluar dari ndalem.

Berbeda dengan ning Rohmah, pagi itu terasa berat sekali bagiku. Terbayang jika nanti aku bertemu dengannya. Apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan jika dia tak menyukai puisiku. Atau bahkan dia tau makna puisi itu. Langkahku kupercepat tanpa memperhatikan santri lain yang juga menuju ke tempat yang sama. Terasa ada yang aneh, bulu kudukku seakan berdiri. Seakan-akan ada yang memperhatikanku atau mengikutiku, mirip adegan di film-film horor.

"Kang Sa'id....!!!" Sebuah tinju mendarat di punggungku lagi.
Untung saja ada tas yang menjadi tamengku. Suara tak asing itu adalah ning Rohmah, tapi panggilannya yang asing. Tak pernah terpikir olehku jika secarik kertas itu menyisipkan namaku dalam panggilannya. Senyumnya agak berbeda, tatapannyapun lain dari biasanya. Dari wajahnya terlihat bahagia.

"Emang puisi yang bagus itu susah dimengerti ya? Aku berkali-kali membacanya, tapi tak juga mengerti. Tapi kayak ada yang aneh, kang. Tapi aku tetep nggak mudeng." Kata ning Rohmah sambil berjalan mengiringi langkahku.
"Wah nggak tau juga, ning. Saya hanya bisa menulis. Saya nggak tau puisi yang bagus itu yang seperti apa." Jawabku
"Masak penyair nggak tau mana puisinya yang bagus. Oh iya, makasih ya dah buatin aku puisi. Aku suka banget sama puisi melati sampeyan, tapi puisi yang kemarin juga indah. Aku tak pernah sebahagia ini, entah kenapa." Kata ning Rohamah dengan senyum mengembang di bibir tipisnya.
"Sama-sama, ning. Cuma tulisan biasa saja kok." Jawabku.

Ning Rohmah mempercepat laju langkahnya karena kami harus berpisah di gerbang sekolahku. Baru lima langkah dariku dia berbalik dan memandangku, akupun hanya berdiri tak beranjak.

"Kang Sa'id...., tadi malam aku mimpi ketemu kamu." Kata ning Rohmah sambil tersenyum malu dan kembali berjalan menuju gerbang sekolah putri.

Lain hari ning Rohmah minta salinan puisi yang berjudul "Melati" padaku. Untung di komputer masih ada, aku tidak usah repot menulis ulang. Semakin hari aku semakin kagum dengannya. Entah kapan mulainya, aku merasa kekagumanku pada ning Rohmah berubah jadi rasa sayang. Aku semakin takut bertemu dengannya. Aku takut rasa ini semakin kuat jika bertemu dengannya. Kupaksakan untuk membunuh rasa dan harap ini. Sekuat tenaga berusaha, tapi tetap saja tak kuasa. Rasa itu semakin tumbuh dan menjulang. Ini adalah kekurang ajaranku yang terbesar. Untuk haflah kali ini aku tidak mengikuti lomba apapun. Sejak puisi terakhirku yang tak berjudul, aku tidak berhasrat untuk menulis puisi. Setiap bertemu dengan ning Rohmah selalu ada senyum dan tatapan yang tak biasa darinya. Mungkin karena aku semakin menyayanginya atau bahkan sudah mencintainya.

Semenjak mendapatkan dua buah puisi dari Sa'id, setiap malam ning Rohmah membaca dan membanding-bandingkannya. Dia merasa seperti ada ikatan antara kedua puisi itu. Rasa-rasanya ada hubungan antara keduanya, tapi tafsir itu ia pendam sendiri. Sementara itu ada benih-benih yang tumbuh dihatinya. Jika ia merasa sedih atau resah maka puisi itu sebagai pelampiasannya. Lambat laun terasa bukan puisinya yang membuatnya tertarik ingin membacanya, tapi pojok kanan bawah yang membuatnya rindu membuka lembaran warna biru itu. Ia merasa nyaman kala memandang tulisan itu, bahkan kadang nama itu ia sebut sambil terpejam membayangkan mimpinya waktu itu. Perlahan nama itu mendiami salah satu sudut ruang hatinya. Saat malam terasa dingin, hangatnya kerinduan yang menyelimuti jiwanya.

Selama beberapa bulan ini hanya beberapa kali saja aku dan ning Rohmah bertemu, saling menyapa atau hanya sekedar memandang dan saling melontarkan senyum. Semakin hari otakku semakin tak bisa memahami hatiku. Kesibukan kegiatan les sekolah menghadapi ujian dan kegiatan pondok pun tak mampu menepiskan kerinduanku. Setelah berdebar dalam minggu-minggu ini, tibalah waktunya pengumuman kelulusan. Dari ratusan santri, hanya ada dua orang yang tak lulus. Itupun karena saat ujian keduanya sedang dalam masa penyembuhan dari sakit, tetapi dipaksakan mengikuti ujian.

Saat itulah aku bertemu dengannya paling lama. Tanpa sadar aku mengulurkan tanganku dan disambutnya tanganku dengan senyum manis.

"Selamat ya, njenengan lulus....." Ucapku penuh bahagia.
"Selamat juga ya, mas Sa'id lulus juga" jawabnya dengan senyum merdeka.

Ada yang menggelitik telinga dan hatiku, ada kata mas meluncur dari bibirnya. Padahal biasanya dia panggil aku kang.

"Oh iya...., rencananya mau nerusin kuliah di mana, ning?" Tanyaku melanjutkan, setelah tangan kami lepas dan duduk berdampingan.
"Aku ingin melanjutkan kuliah di Unsiq dan mondok di Kalibeber. Selain dekat, mondok di kalibeber adalah cita-citaku dari kecil. Aku pun sudah matur sama abah dan beliau mendukung keinginanku." Katanya sembari pendangannya jauh meninggalkan kami berdua.
"Lha mas sendiri mau kuliah di mana? Atau mau cari kerja?" lanjutnya sambil menoleh ke arahku.
"Saya...., ingin melanjutkan kuliah di Mesir. Ada program beasiswa dari PBNU." Jawabku masih sambil menatap ke depan.
Dia diam tertunduk, mukanya memerah dan ada getah bening menetes dari sudut matanya. Seketika aku merasa bingung dan gusar. Entah apa salahku atau ada kata-kataku yang menyinggung perasaannya. Seorang pendekar yang segalak itu menangis di hadapanku. Pemandangan seperti ini baru pertama kalinya aku lihat sepanjang hidupku. Apa kiranya yang membuat putri kyaiku ini bersedih.
"Maaf, ning.... Jika ada kata-kata saya yang salah dan menyinggung perasaan ning. Saya betul-betul tidak tahu dan tidak sengaja. Mohon jangan marah, saya minta maaf." Kataku sambil kebingungan.
"Mas....., bukan kata-kata yang membuat air mata ini jatuh. Tapi keputusan mas pergi ke Mesirlah yang membuatku sedih." Jawabnya sambil menyeka air matanya.
"Maksud ning gimana? Saya betul-betul tidak tahu." Tanyaku tambah bingung.
"Mas tega meninggalkan adik jauh keluar negeri? Setelah semua yang telah terjadi antara kita?" Katanya yang semakin mengombang-ambingkan otakku.
"Maksudnya?" Tanyaku lebih serius lagi.
Dia menghadapkan wajahnya tepat ke arah wajahku dan tatapannya tajam masih berlinang air mata.
"Mas kira adik tidak tahu perasaan mas? Mas kira adik tidak tahu siapa melati dalam puisi mas? Bait terakhir dalam puisi untuk adik yang mengatakannya, mas." Katanya dengan nada agak tinggi.
Aku tak bisa berkata apa-apa dan tak tahu harus mengatakan apa. Dia kembali menatap ke depan dan terdiam sejenak sambil sesekali terisak.
"Mas......., suara hati mas yang mas lukis dalam puisi itu juga tumbuh di hati adik. Adik tahu, adik ini orang bodoh. Adik mencintai orang yang akan pergi jauh meninggalkan adik dengan sejuta luka dan kepedihan." Lanjutnya sambil tertunduk.
Tanpa sadar air mataku pun jatuh mengalir. Aku harus menghela nafas panjang untuk menata hati dan otakku.
"Maaf dik..... Mas tidak tahu jika puisi-puisi mas itu terbaca maknanya oleh adik. Mas kira rasa ini akan hanya terpendam dalam hati mas sendiri dan tersimpan dalam puisi-puisi mas. Mas bahagia sekaligus sedih mendengarnya. Hari ini mas bisa tahu bahwa rasa sayang mas ternyata berbalas, tetapi mas dan adik akan terpisah jarak yang jauh. Tapi bukan itu yang menyakiti hati mas, tapi mas baru mengetahui...  jika kepergian mas akan menyakiti hati orang yang paling mas kagumi dan sayangi." Kataku sambil menatap kedepan.
"Mas....., padahal adik sudah cerita sama umi tentang perasaan adik sama mas dan umi merestui." Kata ning Rohmah masih tertunduk.
"Tapi... jika itu memang yang terbaik, adik ikhlas mas pergi kuliah ke Mesir. Adik akan tetap menunggu sampai takdir mengembalikan mas kepada adik." Sambungnya dengan sedikit senyum dan memalingkan wajahnya padaku.
"Mas janji....., sepulang dari Mesir mas akan melamar adik." Ucapku sambil menatap matanya.
"Adik akan tunggu waktu itu dengan harap dan rindu." Jawabnya.

Kami berdua berjalan meninggalkan sekolah yang ramai dengan keriangan ratusan santri itu. Tak ada kata terucap dari bibir kami berdua. Walaupun tangan kami tidak bergandengan, tapi hati kami berpelukan.

Tibalah hari itu, hari di mana aku harus meninggalkan setengah bagian dari hati dan jiwaku. Perjalanan hidupku di Mesir terasa sangat panjang, beberapa hari sekali dia mengirimkan kabar melalui WA. Kadang-kadang dia menelponku atau sebaliknya. Semakin hari hubungan kami semakin hangat, sampai-sampai abah pun mengetahuinya. Kira-kira sebulan sebelum kepulanganku dia matur mohon restu hubungan kami dan beliaupun merestuinya. Sekarang ini bidadariku telah lulus dari Unsiq sekaligus menyandang gelar khafidhoh. Dia ikut mengajar di sekolah yang dulu ia belajar di situ.

Lima tahun sudah sejak hari kelulusan itu. Hari ini aku sampai di tanah air yang kurindukan. Selama lima tahun di Mesir aku hanya pulang sekali, dua tahun yang lalu. Aku tak memberikan kabar kepulanganku padanya. Sesampai di rumah aku langsung menuju pondokku, satu jam lamanya aku mengikuti laju bis kota. Padahal jika naik motor hanya setengah jam perjalanan.

Rinduku semakin menggebu kala gerbang pondok terlihat olehku. Decit rem bis menambah haru biru rasaku. Lima tahun sudah aku pindah gothak dari pondok ini, tapi gerbangnya masih tetap kokoh berdiri meskipun beberapa sudut telah memudar warna catnya. Semua wajah tampak asing bagiku, akupun tampak asing bagi mereka. Beberapa santri yang berpapasan denganku hanya menyapa senyum ramah, belum ada satupun yang menegur akrab. Mungkin tinggal beberapa santri saja yang mengenaliku. Sebagian besar dari mereka pastinya sedang berada di sekolah. Aku langsung menuju kantor pondok, di sana hanya ada dua pengurus yang berjaga. Untung saja mereka masih mengenaliku sebagai senior, walaupun mereka mengingatku karena puisi-puisiku. Setelah sekedar mengobati rindu pada suasana pondok, aku lanjutkan langkah kakiku untuk sowan ndalem. Pintu depan ndalem terbuka setengah menandakan abah tidak bepergian. Tapi aku memilih memutar lewat pintu dapur. Dalam dapur ada beberapa santri putra yang sedang bersih-bersih. Di sudut dapur lincak, umi duduk meracik  bumbu bersama dua santri putri.

"Assalamu'alaikum." Sapaku dari depan pintu dapur yang terbuka.
"Wa'alaikumsalam....." Serentak semua penduduk dapur menjawab salamku sambil menengok ke arah aku berdiri.
"Sa'id...!!! Lho kamu pulang kapan?" Kata umi sambil berdiri dan masih agak terkejut sambil berjalan menuju ke arahku.
"Kata Rohmah masih bulan depan kamu pulangnya." Tanya umi padaku setelah mendekat.
"Nggih, mi. Tapi teman-teman saya memajukan rencana pulangnya karena semua urusan sudah selesai." Jawabku masih sambil berdiri di depan pintu.
"Oh iya...., masuk sini nak. Duduk di sini dulu.....! Umi mau ngomong sama kamu." Dhawuh umi sembari menuntunku ke arah lincak.
"Sebentar..., kamu tak buatin kopi spesial. Ini khusus buatmu. Abahmu itu paling suka sama kopi buatan umi. Katanya walau takarannya sama tapi rasanya beda jika orang lain yang buat." Umi meracik kopi untukku dengan tangannya sendiri.
"Nggak usah repot-repot, mi. Nanti saya tak buat sendiri saja. Jadi kayak tamu mi, padahal saya lewat belakang karena saya masih santri pondok, mi." Kataku sambil duduk.
"Udah tenang aja, sambil nunggu tamu abahmu pulang. Paling sebentar lagi, kayaknya mau ngundang pengajian. Sudah dari tadi banget kok." Kata umi sembari meletakkan cangkir berisi kopi kebul-kebul.
"Diminum nak, mumpung masih panas" sambil duduk disampingku.
"Nggih mi...." Sambil kuraih cangkir kopi itu dan kuseruput sedikit.
"Nak...., Rohmah sudah cerita semua sama umi tentang hubungan kalian. Nak...., Rohmah adalah satu-satunya putri umi. Dia satu-satunya penerus mimpi umi. Yang umi inginkan hanyalah kebahagiaannya. Jaga dia baik-baik, jangan pernah kamu menyakitinya." Kata umi, tanpa sadar air matanya menetes.
"Nggih mi. Dhawuh umi akan saya jadikan azimat di dada, sebagai bekal perjalanan hidup kami nanti." Jawabku sembari menyeruput kopi spesial buatan tangan umi. Umi seketika tersenyum lebar hingga sedikit tertawa mendengar jawabanku.
"Lho anak lanang sudah pulang dari Mesir to?" Ucap abah sesampainya di dapur. Tanpa kujawab aku berlari menyerobot tangan kyaiku itu dan kucium lama sambil menangis.
"Berkah berkah berkah....." Ucap abah sambil merangkulku.
"Ayo duduk di depan saja yang lebih pantas untuk sarjana dari Mesir." Abah mencandaiku.
"Cekap mriki mawon, bah. Lebih nyaman di sini, bah. Bagaimanapun saya statusnya masih tetap santri Nurul Hikmah. Lima tahun yang lalu saya hanya mohon ijin pindah gothak, bukan keluar dari pondok, bah." Kujawab sambil tersenyum dan sambil duduk mengikuti abah yang juga duduk di lincak.
"Bah...., ini oleh-oleh untuk abah dari Mesir. Beberapa kitab klasik yang pernah abah pesan dulu. Yang ini gamis untuk umi." Kusodorkan dua bungkusan yang kubawa di dalam tas.
"Makasih...., nak. Maaf pake repot-repot segala. Oh iya Rohmah sudah tahu kamu pulang hari ini?" Kata umi sambil memeluk gamisnya.
"Belum, mi. Biar nanti tahu dengan sendirinya." Jawabku.
"Dipenakke, nak. Umi tak nyobain gamisnya." Umi berlalu dari dapur.
"Maaf, bah.... Kepareng matur. Selain kerinduan saya sama abah dan pondok, sowan saya hari ini ada tujuan lain. Sebelumnya mohon maaf, bah.... Jika pematur saya nanti kurang sopan dan tidak berkenan di hati. Saya sowan bermaksud mohon ridlo abah, putri abah ning Rohmah jika abah berkenan ridlo, saya minta menjadi teman hidup saya, menjadi pendamping hidup saya. Dengan segala kekurangan saya, saya bermaksud melamar ning Rohmah sebagai istri saya. Sekali lagi saya mohon maaf jika pematur saya tidak berkenan di hati abah." Pematurku pada abah yang disambut dengan manggut-manggut dan kepulan asap Djisamsoe kretek abah.
"Nak...., kamu benar-benar sudah mantep dengan keputusan hatimu? Ini adalah keputusan penting dalam hidupmu. Apakah sekiranya Rohmah anakku pantas bersanding denganmu. Dia hanya seorang guru wiyata berlabel S.Pd. berbeda jauh denganmu. Lulusan Mesir putra dari Haji Syafi'i, ilmu Rohmah tak seberapa, dia hanya anak manja saja." Kata abah sambil memandangku.
"Dalem sampun mantep, bah. Ilmu dan gelar hanya titipan, tidak patut untuk saya banggakan. Malah saya yang merasa belum pantas untuk menjadi imam dari ning Rohmah." Pematurku pada abah.
"Pasangan adalah saling melengkapi kekurangan dari keduanya. Tak ada satu orangpun yang sempurna, maka pasangan hiduplah yang menjadi penyempurna." Kata abah menanggapi perkataanku.
"Aku secara pribadi ridlo dan menerima pinanganmu, nak. Tapi aku harus mendengar sendiri dari bibir Rohmah sendiri jawaban darinya. Aku baru sebatas tahu dari umimu, itupun baru tiga hari yang lalu." Sambung abah.
"Nggih, bah. Maturnuwun sanget, sudah berkenan menerima lamaran saya." Kataku.
"Sebentar lagi Rohmah juga pulang. Biasanya jam segini dah sampai rumah." Kata abah
"Assalamu'alaikum....." Sayu terdengar suara ning Rohmah di pintu depan.
"Wa'alaikumsalam....." Aku dan abah menjawabnya bersamaan. Jawaban yang sama juga dari umi terdengar dari ruang tengah.
"Alhamdulillah.... Sudah ditunggu-tunggu dari tadi. Ayo ke dapur....! Ada sesuatu di sana." Ajak umi pada ning Rohmah.

Sesampainya di pintu dapur, ning Rohmah seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Pandangannya mengarah padaku, bibirnya tak berkata-kata. Tetapi air matanya mengalunkan senandung biru yang merdu. Duduklah ia disamping abah, setelah salim dan cium tangan. Sedang abah tersenyum bahagia memandang putri semata wayangnya. Umi yang segera ikut dudukpun tak kuasa menahan haru.

"Nak...., sekarang umurmu sudah dewasa. Kamu sudah bisa memilih mana yang baik dan mana yang tidak untuk dirimu. Memang...., abah adalah walimu, tapi keputusan untuk kebahagiaanmu aku serahkan padamu. Barusan..., nak Sa'id melamarmu untuk menikahimu. Aku ridlo, tapi dengan satu syarat, kamu ridlo menerimanya sebagai calon suami." Jelas abah pada ning Rohmah.
Ning Rohmah hanya diam tertunduk malu.
"Nduk....., abah minta kamu jawab dengan tegas. Jika ya katakan ya, jika tidak katakan tidak. Memang....., diamnya seorang muslimah itu menadakan iya. Tapi abah ingin mendengar langsung darimu. Karena abah tahu betul sifatmu, aku adalah abahmu." Tanya abah sekali lagi.
"Nggih, bah. Saya ndherek dhawuh abah mawon. Untuk kebahagiaan nanda, abah pasti mengambil keputusan yang terbaik. Pertimbangan abah pastilah lebih matang." Jawab ning Rohmah.
"Baiklah....., berarti sudah jelas ya sekarang. Kamu menerima pinangan nak Sa'id. Nak Sa'id...., sekarang barulah resmi abah menerima pinanganmu, setelah kita dengar sendiri jawaban dari anakku ini." kata abah sembari menepuk-nepuk pundak putrinya.
"Alhamdulillah......" Serentak kami semua mengusapkan kedua tangan ke muka tanda syukur.
"Baik....., segera urus semua keperluannya. Nak Sa'id segera matur sama bapak. Biar nanti kita bisa berembug segala hal yang perlu dimusyawarahkan antara keluarga kita." Kata abah.
"Nggih, bah. Sekalian saya segera pamit pulang untuk memberitahukan kabar gembira ini pada keluarga. Nanti saya akan matur sama abah kapan kami akan sowan ke sini, setelah kami rembug dulu." Pamitku pada abah.
"Ya sudah...., abah tunggu kabar darimu." Kata abah sembari berdiri.
"Kok buru-buru, nak....? Njuk anggur-angguran....." Kata umi.
"Mboten nopo-nopo, mi. Saya harus segera pulang, untuk mempersiapkan segala sesuatunya." Kataku sambil berjalan beriringan dengan mereka.

Abah dan umi mengantarku sampai pintu. Sedang ning Rohmah calon istriku mengantarku sampai depan pintu.

"Hati-hati.... Mas. Terimakasih...., mas sudah memberikan kado terindah di hari ulang tahunku ini." Kata ning Rohmah sambil melambaikan tangan dan hanya kujawab dengan senyum.

Tiga hari kemudian seluruh keluarga besarku sowan untuk melamar secara tradisi dan rembugan hari pernikahan kami. Diputuskan tanggal 17 Rajab menjadi hari akad nikah kami. Acara hanya sehari itu, di hari yang sama diadakan pengajian di rumahku. Setelah menikah kami tinggal di rumah yang terletak persis di sebelah selatan ndalem. Aku ditugaskan oleh abah untuk ikut mengajar di sekolah dan pondok. Bahkan beberapa kali acara undangan pengajian aku yang jadi badal, padahal abah tidak ada jadwal lain. Katanya sudah saatnya regenerasi dan sudah saatnya abah lebih konsentrasi mengurus pondok.

Kami berdua hidup bahagia, berawal dari puisi "Melati" dan berlanjut menjadi suami istri. Kini aku tak pernah memanggilnya ning Rohmah lagi, aku memanggilnya mama atau kadang sayang.

Terima kasih puisiku, terima kasih ning Rohmahku.

Tembelang, 9 April 2018


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Biru

Ada Cinta di Hati Gus Irul

Kalam Biru