Tia




Langit Jakarta sore ini tampak menguning, tapi tak seperti kuningnya daun yang menua. Mentaripun sudah terlalu lelah setelah seharian bercokol diatas langit. Ranum senja yang kini menyamarkan gemerlap lampu gedung bertingkat kota metropolitan di awal malam. Seperti biasanya, setelah sholat maghrib dan sekedar melepas lelah siang tadi, aku duduk di depan televisi merek grundic buatan jerman ditemani secangkir kopi dan batangan rokok yang sesekali kuhisap. Tak ada satupun acara kesukaan yang muncul di tabung kaca elektronik itu. Hanya beberapa berita politik yang membuat kopiku yang sudah kutelan meronta ingin keluar dari lambungku. Beberapa iklan silih berganti menyelingi dan lewat begitu saja.

Tiba-tiba aku tersadar, cacing-cacing dalam ususku belum dapat jatah makanan dari siang tadi. Tanpa pikir panjang lebar, aku langsung menyambar jaket di gantungan baju dan kurogoh satu persatu kantong-kantongnya berharap ada lembaran bergambar pahlawan yang tersenyum padaku. Betul saja, selembar uang sepuluh ribu  dan beberapa koin yang biasanya aku masukkan celengan ayamkupun kuraih. Secepat kilat di musim hujan, aku langsung lari ke warteg yang hanya terletak beberapa gang dari kontrakanku. Sebungkus nasi berhiaskan sayur nangka dan ditemani dua buah tempe goreng menjadi mangsaku dan rakyat jelata yang bersemayam di perutku.
Setelah acara pesta kecilku selesai, kusegerakan sholat  isya’ mumpung belum khadas. Selimut dan bantal kesayanganku sudah menungguku diatas ranjang kayu sederhana. Malampun kulalui dengan perut kenyang dan pikiran yang tenang tanpa beban.
Sebelum ayam tetangga meraung-raung, aku sudah tersadar dari mimpi indahku. Kumulai hariku dengan mengguyurkan air di sekujur tubuhku. Dingin tapi segar, asyik deh pokoknya. Minggu 20 februari 2005, mentari menyapaku dengan senyum indah dan ramah. Sapu di pojok ruangan memanggilku untuk bersih-bersih. Dari kamar, ruang tamu, dapur dan tak luput pula meja televisi. Asbak tempat puntung rokok yang agak berserakan kurapikan, termasuk bungkus nasi semalam kuraih dan ku lempar kearah tempat sampah. Tapi sayangnya aku tak sehebat pemain basket internasional saat melakukan slamdunk. Bungkus nasi itu mendarat tak tepat di mulut keranjang sampah, hanya sedikit melenceng dari arah yang kutentukan. Merasa berdosa atas keisenganku, akupun dengan langkah kecewa memungutnya kembali dan berniat menaruhnya di tempat yang seharusnya dia berada. Tapi entah ada angin darimana, aku membuka koran pembungkus nasi yang sudah mirip bola itu. Kulihat ada iklan biro jodoh dan kuamati satu persatu nama dan nomor telepon yang tak bergambar itu. Sebuah nama sedikit menggelitik hatiku untuk mengamati dan mencatat nomornya. Tia Candra Kirana status single, mendambakan pria yang mapan, setia, dan taat menjalankan agama. Dari semua kriteria itu nggak satupun yang berani menyindirku. Tapi apa salahnya iseng-iseng berhadiah, nggak jadi pacar atau suaminya nggak masalah, minimal tambah teman satu lagi. HP Nokia 3220 bututku menjadi saksi pertamaku.
Setelah berbenah kontrakan dan sarapan, sebatang rokok dan secangkir teh manis menjadi penutupnya. Sambil duduk-duduk di teras belakang rumah dan menikmati hari libur, aku mencoba untuk mengecek kevalidan bungkus nasiku semalam. Benar saja, saat kutekan nomornya ternyata aktif, buru-buru kumatikan karena pulsa Asku agak nipis. Maklum saja pulsa minimal harganya dua puluh tiga ribu dengan nilai dua puluh ribu. Jemariku lentik menari di atas keypad 3220 silver kesayanganku. “Pesan terkirim”........ tulisan di HP yang membuatku berdebar-debar seakan menunggu pengumuman pemenang sebuah lomba aja. Aku hanya menulis namaku dan niatku untuk berkenalan dengannya dengan maksud ingin menambah teman. Tapi rasanya melebihi menunggu jawaban saat aku menembak cewek dulu pas waktu masih sekolah, yaa.... emang sih aku selalu di tolak.
Nada dering sms dari Hpku sontak mengagetkanku yang sedang bercumbu dengan angan yang membayangkan wajahnya. Dalam hati masih bimbang, jangan-jangan dia marah atau cuek atau itu malah bukan balasan dari dia. Pelan-pelan tapi pasti, aku buka new massage dan ku baca dengan seksama. Yesss... ternyata dia mau membalas dengan nada yang lembut. “Terimakasih udh mo ngnalin dri, nmQ tia. Lgkpny Tia Candra Kirana, tapi pggl z tia. Km tw noQ drmna?bls”. Wah bingung juga mau jawab, masak mo bilang dari bungkus nasi yang berasal dari koran tahun lalu, kan nggak lucu donk. Tapi kalo aku jawab dengan cara berbohong juga nggak baik. Awal itu kan menentukan kelanjutannya. Masak awalnya aja aku udah nggak jujur. Dengan pedenya aku tulis “tpi sblmny 5f bgt y, mga z kmu g mrah. Q dpt nomu dri koran. Anyway kmu tiggl dmn? Aslny drmana? Nma lgkpku Ardhie Ardhana aslku dri wonosobo. Tiggl d tomang.”
Ternyata gadis yang belum jelas wajahnya ini berasal dari Pathuk Gunung Kidul Jogja, bekerja di sebuah perusahaan swasta di Jakarta dan tinggal di Jakarta Utara bersama kakak sepupunya. Berawal dari itu, aku sering sms dan telepon tia. Mulai dari masalah dengan gebetanku yang sekarang malah jadian sama temenku dan segudang masalah lainnya aku curhatin. Begitupun Tia, dia mulai mau cerita tentang kekasihnya yang sampai saat ini lost contact sudah empat bulan tanpa kejelasan. Dari situ aku dan tia mulai dekat, entah kapan mulainya kami berdua tidak tahu ternyata perlahan-lahan aku mulai jatuh hati pada perhatiannya. Dan Tiapun juga sama, aku sering bilang sayang, kangen dan kata-kata sejenisnya. Aneh sih, tapi itu kejadiannya. Kami berdua saling jatuh hati dan menyayangi walaupun cuma lewat HP dan belum pernah sekalipun bertemu. Hanya foto ukuran dompet yang pernah kuterima dan kukirim via pos.
Tanggal 20 Maret 2005 minggu pagi aku sudah bangun lebih pagi dari biasanya, karna kami sudah berjanji bertemu hari ini. Setelah sholat shubuh aku sempatkan berdo’a agak sedikit panjang dari biasanya. Rasa penasaran, rasa ingin cepet ketemu, dan rasa-rasa lain campur aduk jadi satu dalam dadaku yang semakin sesak. Huffttt..... tak sabar aku menunggu mentari terbangun, pukul lima pagi aku segerakan berjalan kaki sekalian berolahraga. Sampai juga di jembatan nomor dua dari Taman Anggrek Tomang. Di tempat itu kami berjanji untuk ketemu. Satu persatu orang yang berjalan dari kejauhan aku amati, tapi setelah mendekat tak ada yang mempedulikanku. Bukan dia ternyata, mungkin sudah berpuluh-puluh orang yang ku amati. Lebih dari tiga jam aku menunggunya akhirnya dalam penghujung keputus asaanku ada seorang gadis berambut lurus panjang mengenakan celana panjang, jaket jeans, dan di tangannya membawa tas warna putih. Dia menyapaku dari belakang dan memanggil namaku, “Mas, Ardhi...?” sontak aku langsung menoleh dan menjawab dengan nada ringan dan agak bengong “iyaaa...., Tia...?” tanpa menjawab Tia langsung memelukku dan menangis. “Tuh kan , kalo aja Tia nggak manggil mas, mungkin mas nggak tau kalo dah dari tadi Tia di belakang mas” rengekan dia mengais sisa-sisa haru.
Seperti sepasang merpati kami berjalan menyusuri trotoar jalan melewati halte bis bawah jembatan menuju mall Taman Anggrek sampai di depan Total Square aku hanya melirik gedung tempat Tia bekerja. Hiruk pikuk kendaraan yang lalu lalang disamping kami seakan tak terdengar dan terlihat. Padahal aku dan gadis manis di sampingku ini baru sekali ini bertemu. Ada derap tak teratur di dadaku yang kutahan dan kucoba tuk redam, entah itu yang dinamakan cinta atau apalah, yang jelas aku bingung menggambarkannya. Terselip sedikit ketakutan dalam hatiku, jangan-jangan ini hanya mimpi atau lamunanku yang terbawa sampai dunia nyata dan sebentar lagi aku terbangun. Selama ini belum pernah seorangpun yang memberikan perhatian apalagi sampai menyayangiku sebagai seorang kekasih. Sampai di tempatku kami langsung masuk ke rumah sempit tapi agak sedikit rapi.
“Mas...., kalo aja tadi Tia nggak manggil mas duluan kita nggak bakalan ketemu” Tia mengulangi kata-katanya tadi waktu ketemu.
“Hehe...., iya juga sich.....” aku hanya bisa nyengir tak berdosa sambil garuk-garuk kepala yang ngaak gatal.
“Tapi..., kamu bener nggak nyesel ketemu sama aku....???” tanyaku agak seedikit ragu.
“Mas...., kalo Tia nyesel ketemu sama mas, tadi Tia bisa langsung pergi diam-diam. Kan mas nggak liat Tia, tapi Tia kan dah liat mas duluan?” jawab tia agak ketus sambil ngemil kerupuk miskin(kerupuk yang tidak digoreng dengan minyak/makanan khas dari daerah).
“Iiiyaa juga ya......” sambil mengulangi garukan tak berdosaku. Hatiku jadi tenang, tapi kenapa dia nggak kaget atau kecewa melihat mukaku yang mungkin jauh dari bayangan dia. What everlah, yang penting kini aku punya seorang yang bisa aku panggil sayang dan aku sayangi. Berjuta bintang di langit mungkin hari ini ikut tersenyum untukku, bahagia bercampur haru. Wah ini hari terindah dalam hidupku selama ini.
“Wah, tamunya udah dateng ya?” sebuah suara dari belakang kami yang memecah keheningan, karna kami masih agak malu-malu. Ternyata itu Susi teman satu kerjaan denganku, tanpa aba-aba aku dan Tia menoleh kearah Susi. “Iya, mbak.... baru aja nyampek kok” Tia menjawab sembari mengjak berjabat tangan dengan Susi. “Aku Susi, teman kerja calon suamimu ini...” gurauan susi membuat aku kelabakan pingin buang muka ini jauh-jauh ke samudra Hindia sana. “ Cantik...., pas seperti yang sering Ardhi bilang” sekarang bukan hanya aku yang malu, tapi Tia juga hanya bisa tersenyum kecil dan menunduk malu. “Mbak ini bisa aja” tangkis tia.
“Iya, bener lho... Ardhi kan sering curhat ama aku” bela mbak Tia agak sedikit ngotot. Gelak tawa segera mencairkan suasana kontrakan. Susi adalah teman kerjaku yang sekaligus tetangga kontrakanku. Aku sering curhat dan cerita tentang pacar mayaku yang kukenal lewat pulsa dari Telkomsel itu. Detik demi detik berlari begitu cepat mengiringi kebersamaan kami. Seharian kami hanya berdua,ngobrol, bercanda, bermanja-manjaan di sofa depan tivi, duduk-duduk diteras belakang sambil cerita diri masing-masing. Bukan tak terasa tiba-tiba sudah jam tujuh malam, terasa tapi rasanya nggak ikhlas kalu dia sudah harus pergi. Kalau saja bisa, aku ingin protes kebijakan perusahaan yang menerapkan jam wajib lembur pada malam senin. Bukannya tidak sesuai dengan hak buruh, hanya saja tidak pengertian saja dengan orang pacaran.
Setelah mandi dan berdandan rapi, Tia membereskan isi tasnya. Ternyata bukan hanya aku yang belum sembuh dari sakit rindu, Tia juga merasakan hal yang sama. Dengan nada yang sendu dan lirih pujaan hatiku ini berpamitan, “Mas..., adek berangkat kerja dulu” terdengar ada sedikit sesak di dadanya yang ia tahan. Kata-kata yang asing dan aneh di telingaku. Adek...???? hihihi, tapi indah didengar. Seraya Tia menggapai tanganku untuk bersalaman dan cium tangan, seperti otomatis tangan kiriku meraih kepalanya dan kudekatkan ke bibirku, kukecup keningnya agak lama Tiapu hanya terpejam. Tanpa kusadari ada aliran yang tak dapat kubendung dari mataku dan membanjiri pipiku. Secepat kilat aku usap dengan tangan kiriku agar Tia tidak mngetahuinya. Aku merasakan ada linangan air di tangan kananku. Saat Tia melepaskan ciumannya dari tanganku, aku lihat matanya berkaca-kaca dan berlinangan air mata. Tia memelukku dengan sangat erat sambil melampiaskan tangisannya. Aku hanya bisa membalasnya dengan belaian lembut di punggungnya. “Sudah nduk...., nanti kamu telat ke kantor ini sudah setengah delapan” lirih suaraku di samping telinganya. “Iya mas...” tersadar dari peristiwa aneh bin ajaib barusan. “Aneh ya mas, padahal kita baru aja ketemu. Tapi rasanya kayak sudah suami istri mau pisah jauh” kata Tia sambil nyengir malu. “Hmmmmm.....iya.... mungkin ini yang dinamakan jodoh” jawabku dengan masih menyimpan rasa heran dan takjub dari peristiwa yang agak janggal di logikaku ini. “Udah..., sekarang berangkat kerja aja, walaupun sebenernya mas masih belum ikhlas. Tapi daripada nanti kamu dimarahin sama pengawasmu yang katamu cantik tapi galak itu” candaku yang mampu mengundang senyum manis tergambar di bibirnya yang mungil itu. “Iya....suamiku yang bawel....” ledeknya sambil mencibir bibirnya. Diapun berlalu pergi meninggalkanku berjalan kaki menuju kantornya. Aku hanya termangu melihat bayangannya ditelan remang lampu jalan gang, sampai persimpangan blok dia sudah tak terlihat lagi.
Setelah hari itu, hari-hariku selalu indah dan berwarna. Setiap antara jam sembilan sampai jam sepuluh kurang seperempat malam dia pasti telepon untuk berpamitan berangkat kerja. Sampai ditempat kerjapun dia sempatkan telepon atau sekedar sms untuk bilang kalau dia sudah sampai. Kami hanya bisa bertemu di hari minggu, karna aku kerjanya siang dan Tia kerja ship malam. Sebelum dia datang kerumah pasti telepon dulu, mau di bawai oleh-oleh apa. Udah cantik, perhatian, pinter lagi........ dan aku sangat yakin bahwa dialah jodohku. Gadis bernama Tia yang berpawakan sedang, kulitnya kuning merona, bibirnya yang mungil, sifatnya yang kadang manja, membuat tidurku tak bisa nyenyak dan kemanapun aku pergi selalu membayangiku.
Dalam benakku kurancang sebuah rencana kecil untuk nanti lebaran, aku akan pulang bareng dia dan mengantarkannya sampai Jogja. Langsung akan kulamar dia, baru setelah itu aku pulang ke kota tercintaku. Mungkin lebaran tiga atau empat kami bisa melangsungkan pernikahan, dan lebaran keenam atau ke tujuh kami kembali ke Jakarta. Sempurna....., dan itu menjadi semangat tersendiri bagiku untuk bekerja dan mengumpukan pundi-pundi rupiahku sampai tiba saatnya nanti.
***
Dua bulan berlalu seperti biasa, sampai pada sebuah sore telepon dinding di ruang tengah berdering. Buru-buru aku angkat dan kutempmpelkan di telinga kananku.
“Assalamu’alaikum, mas....” suara yang tak asing dan sangat kukenali. Tia yang meneleponku dari rumahnya. Tumben-tumbenan jam segini dia menelepon, biasanya kan jam sembilanan dia meneleponku untuk pamitan. Memang beberapa hari ini dia nggak nelepon atau sms, mungkin karna sibuk atau pulsanya udah nipis, maklum tanggal tua.
“Wa’alaikumsalam, nduk...., kok beberapa hari ini nggak ngasih kabar. Aku sms nggak di bales, aku telepon juga nggak aktif? Mas kan khawatir” pertanyaanku bertebaran seperti hujan sore ini.
“Maafin adek mas..., beberapa hari ini adek sibuk banget”
“O ya mas, adek mau pamitan, besok adek mau pulang ke Jogja” lanjutnya.
“Ada apa, kok nggak bilang dari kemarin, kayaknya mendadak banget?” tanyaku penasaran.
“Iya mas..., mendadak. Tadi pagi adek dapat kabar dari rumah, kalau keluarga adek di jogja dapat musibah. Rumah adek kebakaran, tapi alhamdulillah semua selamat” jawab Tia.
“Innalillaahi wa innailaihi roji’un” sahutku. “Ya udah, yang sabar ya, yang penting semua dalam keadaan sehat” aku coba hibur dia.
“Mas..., aku berangkat besok sore tadi baru aja pulang pesen tiket. O iya mas, di kampungku sinyal masih susah mungkin beberapa hari aku tidak bisa dihubungi”jelas Tia.
“Oke..., nggak papa, yang penting kamu hati-hati di jalan, jaga kesehatan.” Aku menasehati Tia.
“Iya-iya....., bawel...... Mas, besok ada waktu kan aku pingin ketemu. Kalo bisa pagi sebelum mas berangkat kerja”.
“Sayang......, besok kan hari minggu. Mas libur nggak kerja” jawabku ketus.
“Oh iya..., adek lupa mas. Ya udah mas, sampai jumpa besok ya mamasku. Assalamu’alaikum, mmmmmuach.....!!!!!”
“Wa’alaikumsalam, mmmmuach juga” jawabku singkat sembari mletakkan kembali gagang telepon di tempatnya semula.
Terasa kecupan itu seperti menyambar pipi kananku barusan, walaupun cuma lewat suara telepon.
Keesokan harinya, minggu yang cerah menyapaku dengan mesra. Saat sinar mentari mulai membelai dedaunan yang masih berembun, datanglah sosok yang kurindukan. Entah satu atau dua minggu aku tidak bertemu, aku sendiri lupa karena terlalu parahnya sakit rindu ini.
“Assalamu’alaikum..., mas” suara merdu dari bibir manis itu menyapaku.
“Wa’alaikum salam, nduk...” jawabku dengan hiasan senyum bahagiaku.
“Mas udah nunggu dari tadi, eee... baru aja dateng” aku mengawali percakapan.
“Maaf mas, tadi adek packing baju dulu biar nanti nggak bisa langsung berangkat.” Jawabnya singkat.
Pagi itu kami hanya ngobrol sebentar, tak lama kemudian dia berpamitan untuk pulang dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepulangannya. Dan aku hanya bisa melepasnya dengan kerinduan yang belum terobati.
***
Dua minggu sudah sejak kepulangan Tia ke Jogja, selama itu pula aku menanti ketidak pastian kabar darinya. Setiap detik dari hari-hariku kulalui dengan kecemasan dan kebimbangan. Aku coba cari nomer telepon mbak Umi kakak sepupu Tia. Untung aja masih kesimpen di Hpku, tanpa pikir panjang aku pencet keypad Hpku.
“Assalamu’alaikum....” suara perempuan muda beranak satu itu menyapaku di telepon.
“Wa’alaikum salam, maaf ni betul mbak Umi?” tanyaku.
“Iya, maaf ini siapa ya?” sahutnya
“Ni Ardhi mbak, temennya Tia” jawabku agak sedikit grogi.
“Oh...., pacarnya Tia yang dari Wonosobo itu...” tanggapnya sambil tertawa kecil.
“Ah..., mbak. Jadi malu” candaku karna merasa sudah tahu tentangku. “Maaf mbak, aku mau nanya, kabar Tia gimana? Sejak dia pulang ke Jogja belum ngasih kabar” tanyaku serius.
“Maaf dhi, Tia sekarang sudah nggak tinggal disini lagi dan mbak nggak tau dia sekarang tinggal dimana.” Mbak umi menjelaskan.
“Apa dia cuma  ingin menjauh dari saya dan beralasan pulang ke Jogja, mbak?” tanyaku.
“Mbak nggak tau dhi soal dia mau menjauh atau tidak, tapi dia bener-bener pulang ke jogja dan cuma tiga hari di sana. Setelah balik ke Jakarta, dia pamitan katanya mau ngontrak yang deket tempat kerjanya. Karena kantornya katanya mau pindah ke Cempaka Putih. Itu saja yang mbak tau.” Mbak umi menerangkan.
“Gitu ya mbak, maaf ya udah ganggu waktu mbak. Mbak..., kalo ada kabar tentang Tia. Aku dikasih tau ya.” Pintaku.
“Nggak papa kok, ini juga lagi santai. Dhi..., kamu kan masih muda, umurmu baru dua puluh tahun, masa depanmu masih panjang. Mbak yakin kamu nanti akan mendapatkan calon istri yang lebih baik dari Tia.” Kata mbak umi pelan dan hati-hati.
“Memang kenapa,mbak...? iya mbak, aku juga sudah mulai membaca itu. Aku baru sadar, ternyata mungkin beberapa waktu ini Tia sengaja menghindar dariku”. Jawabku lirih.
Percakapanku dengan mbak umi di telepon itu mulai membukakan mataku. Ternyata selama ini mataku silau melihat perhatian berlebih dari seorang anak hawa. Aku baru tahu, kalau bukan aku satu-satunya orang yang mendiami ruang hatinya. Waktu berjalan begitu lambat, bahkan aku rasakan lebih cepat siput yang berlari. Lambat laun, entah karna aku ikhlas atau saking sibuknya bekerja, aku sudah mulai lupa akan kejadian beberapa bulan lalu. Namanya, senyumnya, dan segala kenangan tetang Tia mulai terkikis dan perlahan terhapus.
Tenang, damai dan nyaman rasanya hidup tanpa beban kemarin itu. Pundakku sekarang terasa ringan, dan kakipun tak lunglai lagi tukmelangkah meneruskan hidupku. Sampai pada suatu sore yang hampir sama seperti pagi yang hampir sama dengan waktu aku ketemu Tia pertama kali. Kabutnya, sinar kuning mentarinya, bahkan aromanya seakan-akan hari ini adalah waktu itu. Lukaku kembali terkoyak, rasa rindu akan senyumnya, candanya, belainya dan segala sesuatu tentang dia hadir lagi didepan mataku. Sakit...., hanya kata itu yang mungkin bisa mewakili perasaanku. Hai itupun kulewati dengan tetap memaksa hati ini untuk tidak mengingatnya, tidak menyayanginya, tidak merindukannya, bahkan aku sangat benci pada wajah itu. Wajah yang membuatku sakit, hingga untuk merasakannya pun aku tak kuasa.
Ramadhan tahun itu datang dengan senyum seperti tahun-tahun lalu, sedikit air embun menetesi padang gersang dadaku. Tanggal 15 Ramadhan aku bangun agakl siangan, setelah tertidur pulas sehabis shubuh tadi. Dering telepon yang menempel di dinding ruang tengah memaksaku pulang dari mimpi surgawiku.
“Ah.... siapa sih pagi-pagi gini iseng telepon, kayak nggak ada waktu lain aja...” gerutuku sambil meraba dinding yang ternyata masih jauh dari gagang telepon. Mataku belum melek benar, mungkin setengah nyawaku masih tertinggal di alam mimpi barusan.
“Assalamu’alaikum, mas” Suara dari gagang telepon yang seketika membuat rasa ngantukku berubah jadi rasa ingin mati saja. Bukan main terkejutnya, untung jantungku ada sembilan. Pagi itu orang yang paling aku benci se jagad raya yang menelepon. Tia, ya Tia.... nama itu seakan sudah hampir punah dari hati dan pikiranku. Tapi entah ada angin apa dia meneleponku, mungkin badai dan taufan yang mampir. Beberapa saat aku terbengong dan asyik dalam lautan berjuta pertanyaan dan rasa yang campur aduk.
“Wa-wa’alaikum salam” jawabku terbata setelah tia mengulangi salamnya sampai tiga kali. “Sory tadi aku agak sedikit serak” belaku untuk menutupi keterkejutanku, sambil pura2 batuk.
“Mas, lagi sakit ya???” tanya Tia karna mendengar suara batuk buatanku yang menjadi topeng keberuntunganku. Nadanya masih secemas dulu waktu aku sakit saat masih menjadi pacarnya. Hal itu semakin membuatku serak dadakan, karna menahan sesuatu yang terasa sakit di tenggorokanku. Kalu bukan cowok, mungkin aku sudah menangis sejadi-jadinya. Terang saja air mataku tak terbendung, itu membuat sakit yang sudah mereda kembali memerah.
“Mas..., aku kapan2 masih boleh main ketempat mas nggak?” tanya Tia yang masih juga semanja dulu. Itu membuatku semakin benci dia, seakan-akan tak terjadi apa2 antara kami. Sepertinya semua perbuatannya tidak menyebabkan sedikitpun luka di dada ini. Tapi itu juga yang membuat aku sadar, bahwa aku selama ini masih mencintai dan menyayanginya.
“Boleh aja nduk...., dulu kita berteman dan sampai saat ini aku masih menganggap seperti itu, walaupun kamu sudah tidak pernah menghubungiku” jawabku dengan beberapa hentian nafas yang kuatur sedemikian rupa agar tak ketahuan sedih.
“Bener mas?, maaf mas, Tia sebenernya pingin menghubungi mas, tapi takut itu malh akan membuat sakit mas. Dan Tia pikir mas sudah benci ma Tia dan tidka mau kenal Tia lagi.” Kata Tia
“Ya udah, kapan2 main kesini. Tapi jangan lupa bawa oleh2nya.” Candaku untuk meutupi rasa nggak karuan  ini.
“Okey dech, maksih ya. Maaf dah ngganggu waktu istirahat mas. Moga cepet sembuh. Assalamu’alaikum”
Suara terakhir tia dari gaganng telepon yang kujawab, tapi aku tak lekas mengembalikan gagang itu ke tempatnya. Beberapa kali kucium dan kupeluk. Wah...,aku dah mulai gila ini.
Tanggal 20 ramadhan Tia main kerumah dengan oleh-oleh makanan untuk buka puasa. Sore itu kami berbuka bersama. Lidah ini rasanya mati rasa. Makanan yang menjadi idolaku saat bukapun rasanya hambar.
“Mas..., Besok ada waktu nggak?” tanya Tia di sela-sela acara buka kami.
“Ada sich..., dari hari kemarin aku sudah libur, ada apa nduk?” tanyaku sambil mengunyah makanan yang kupaksa harus masuk kedalam tenggorokanku.
“Mas..., aku mau minta tolong dianterin ke daerah gunung sahari, bisa nggak?” pintanya manja.
“Gunung sahari...? derah mana tuh? Mo ngapain?” tanyaku nyerocos.
“Jakarta utara, mo ngejahitin baju. Kemarin aku dibeliin baju sama calon suamiku, tapi kegedean. Rencananya mau buat lebaran. Tinggal kerudung putihnya doank yang belum dapet.” Jelasnya.
“Oooooo......” tanggapanku singkat. Dalam waktu beberapa detik, perutku yang lapar bukan main karna puasa seharian tadi seakan penuh makanan berpuluh-puluh porsi jumbo. Aku meletakkan piringku agak membelakangi Tia  untuk menata mukaku agar nggak ketahuan terkejut.
“Gimana, mas??? kok nggak dijawab.” Tanyanya ketus.”Maaf mas, kalau kata-kata Tia nggak enak dihati mas. Tia nggak bermaksud apa-pa” kata tia sambil mendekati ku di wastafel.
“Nggak.....papa kok. Besok aku ada waktu kok. Tenang aja.”jawabku dengan santai diluar, tapi di dalam nggak karuan.
“Bener...., mas nggak pa2...?”tanyanya serius. Aku tidak menjawab pertanyaannya dan hanya melemparkan senyum.
****
Siang itu motor Shogun 125 warna hitam melaju membawa dua tubuh ke arah jakarta utara. Gunung Sahari, sederet tulisan yang sempat kubaca menandai wilayah itu. Aku tak ingat betul, itu nama jalan atau nama gang atau nama daerah. Pikiranku terpenuhi gambar dan video tentang mesranya gadis yang saat ini naik motor bersamaku berjalan bersama orang yang paling tidak aku sukai seantero jakarta, bahkan dunia.
“Mas..., depan belok ya...!!!” kata-kata Tia dari samping telingaku yang terdengar samar tapi mampu membuyarkan angan-angan ku tentang dia lebaran nanti.
Sebuah rumah kecil berpapan nama yang bertuliskan “Modiste” menjadi tempat pemberhentian kami. Aku kurang tahu, itu kata dari bahgasa apa. Yang jelas gaun putih indah yang akan dikenakan Tia nanti waktu bersilaturahmi bersama calon suaminya itu direformasi oleh penjahit dari rumah itu.
Lebaran kali ini akan seperti biasa, kumandang takbir yang menggema menderu membuat hati tersayat teringat dosa, gebyar kembang api di langit malam Jakarta, kue, dan baju baru. Tapi ada yang tak biasa di Idul Fitri kali ini, aku.... ya aku tak biasa menikmati lebaran dengan kesedihan dan jauh dari orang tua. Rencana tinggal rencana, semestinya menjelang lebaran ini aku pulang bersamanya dan mengantarkannya sampai Gunung Kidul untuk melamarnya. Dan setelah liburan lebaran selesai kami kembali ke Jakarta bersama untuk mengumpulkan pundi-pundi keringat sebagai modal pernikahan kami tahun berikutnya. Tapi semua telah berbeda dari anganku, kenyataan berlawanan dengan inginku.
***
Entah karena kekecewaanku pada kenyataan atau kesedihanku karena kehilangan Tia atau mungkin karena dua-duanya, aku putuskan untuk kembali ke kampung halamanku. Wonosobo telah menantiku untuk kembali merajut benang-benang asa yang baru meneruskan hidupku jauh dari bayang-bayang tentang Tia walaupun wajah dan perjalanan hidupku selama sepuluh bulan di Kota metro yang bising itu mungkin takkan bisa kuhapus sepenuhnya dari hati dan otakku. Terimakasih... Tiaku yang telah menorehkan kenangan indah dalam hidupku dan namamu akan terukir di hatiku dengan tinta merah jambu dan ungu ronamu.....
Sekian.
Ardhie Ardhana CSPT


Komentar

  1. Masa lau tidak bisa kita rubah, namun masa depat dapat kita rencanakan! Semangat. Saran sobat, untuk tulisan yang panjang di kasih readmore.

    BalasHapus
  2. Terimakasih sobat, atas sarannya. Maaf masih banyak kekurangan di sana-sini. Terimakasih atas kunjungannya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Biru

Ada Cinta di Hati Gus Irul

Kalam Biru