Postingan

Ada Cinta di Hati Gus Irul

May 21st, 2012 Oleh Tanwirul Mubarok* Seperti hari-hari sebelumnya, suasana pondok al-Firdaus berjalan seperti biasa. Sebuah pondok besar di pinggiran kota Jombang. Para santri sejak pukul empat pagi telah berbondong-bondong ke masjid untuk menunaikan jama’ah subuh, ada juga yang berangkat pukul tiga untuk bermunajat kepada Allah. Memang waktu sepertiga malam adalah waktu yang sangat hening untuk mendekatkan diri kepada Allah, sebuah kecintaan luar biasa antara sang hamba dengan sang Khalik akan diterjemahkan dalam tindakan sujud sambil mengalirkan air mata, sebuah penyesalan luar biasa atas apa yang kemarin dilakukan. Jama’ah shubuh adalah aktivitas yang diwajibkan pondok tersebut, dan yang tidak melaksanakan akan terkena ta’zir. Tidak heran jika setiap hari ada anak yang membaca al-Quran di depan ndalem sebelum berangkat sekolah, bukan karena dia terlalu ngefan al-Quran melainkan karena tidak ikut jama’ah shubuh. Apalagi Gus Irul, Farid, Haroen dan Hilmi, empat santri yang tidak asin

Kalam Biru

Gambar
Setelah terbit pagi tadi, mentari terasa pelan beranjak meninggi. Jarum jam terasa lebih lambat berdetak. Seperti ada yang menahannya, atau hanya rasaku saja. "Dhi...., Kamu nggak berangkat kerja?" Suara mas Wisnu dari halaman belakang. Aku hanya tersenyum kecil dan berlalu menuju kamar mandi. "Move on dong....! Tia memang bukan jodohmu, ikhlaskan saja.... Do'akan saja dia bahagia dalam rumah tangganya." Sambung teman kosku itu. Aku hanya nggrundel dalam hati, kenapa nama itu lagi? Padahal sudah dua bulan berlalu sejak pernikahannya. Luka dalam hatiku terasa masih basah. Kekosongan otakku belakangan ini sebab utamanya adalah dia. Serasa cukuplah nama itu jadi masa lalu yang pernah indah saja, walaupun terasa perih saat kukenang.

Ning Rohmah

Gambar
Ning Rohmah Pagi ini mentari tersenyum manis, tak seperti kemarin pagi yang berhias tangis gerimis. Seperti biasanya aku berjalan menuju sekolahku dengan semangat. Aku belajar di SMK Unggulan " Nurul Hikmah " yang sebelumnya mampir dulu di SMP Unggulan yang berlabel sama. Lima tahun sudah aku ngaji di pondok Nurul Hikmah dan belajar di sekolah yang bernaung di yayasan yang sama. Pengasuh pondokku termasuk kyai terkenal di Wonosobo. Walaupun santrinya tak sebanyak pondok Manggisan, Kalibeber ataupun Jawar, tapi nama Gus Jabbar tak asing lagi di dunia pondok dan santri. Selain sering diundang di acara-acara pengajian, beliau juga terkenal kejadugannya. Banyak yang berguru ilmu kebal dan kanuragan padanya. Dari silat Pagar Nusa sampai Banser semua mengenalnya, bahkan preman-preman seantero jagad Wonosobo segan padanya. Tak jauh garang dari ayahandanya sang putri semata wayangnya juga jago silat dan olah kanuragan juga.

Syarah Rindu

Gambar
SYARAH RINDU Malam kian beranjak, derik jangkrik di luar sana berbisik mesra di telingaku, sedang aku tak kunjung terpejam. Gothakku malam ini terasa sepi, hanya ada tiga santri, itupun termasuk aku. Rasa capek hasil ro’an tadi siangpun tak membuat mataku rela dipejamkan, padahal seluruh tubuhku dirundung pegal setiap inchinya. Aku memutuskan duduk bersandar di tembok dan kuraih kitab Fatkhul Mu’in yang tadi sore kukaji di madrasah. Kubuka lembar-lembar awal dan perlahan-lahan kubaca lagi sambil sesekali menambal sah-sahan yang belum lengkap. Tiba di halaman kedua, mataku terhenti membelai tulisan arab gundul kitabku. Terselip foto ukuran kartu nama di halaman itu, wajah dan senyum itu masih berseri walaupun kertasnya sudah kusut. Sore tadi juga masih ada senyum yang sama di pelataran masjid saat berpapasan denganku. Kubalik foto senyum itu, tertulis “Nur Syafia”. Satu nama yang bukan hanya tertulis di kertas berfoto itu, tapi juga di hatiku.

Senandung Biru

Gambar
Derap bising motor bebek hitamku memenuhi simpang tiga dusun Mayungan dan sejenak kemudian terdiam di samping utara masjid. Kyai Burhan segera keluar dan menyapaku. “Ealah sampean to mas, monggo-monggo masuk” Sapa Kyai Burhan dengan senyumnya yang wibawa. “Njih pak lik....” jawabku singkat sambil mengikuti langkah Kyai Burhan. Kami memasuki ruangan luas yang tergelar karpet hijau, di sudut ruangan ada satu set meubel yang sudah agak usang. Aku langsung duduk di karpet, tetapi Kyai Burhan meraih tanganku dan mengajak duduk di atas. Beliau memang terhitung saudara jauh dari ayahku yang detail urutannya aku sendiri pusing, tapi beliau selalu tak pernah mau kupanggil pak Kyai, aku dimintanya tetap memanggil beliau pak lik. Kyai Burhan memang seorang yang sangat sederhana, walaupun santrinya tergolong tidak banyak tapi beliau adalah seorang pengasuh pondok. Aku tetap menjaga unggah-ungguhku sebagai santri. Pondok pesantren “Nurul Khasanah” namanya tetapi orang lebih kenal den

Arsa

Gambar
Segerombolan awan tergulung di barat desa Jangkrikan, menjadi satir sebagian sinar sore. Cahaya yang menguning menemaniku mandi untuk begegas menuju masjid Al-karomah bersama santri-santri lain. Selepas jama'ah sholat asar semua santri putra langsung duduk di serambi masjid, sedang santri putri pulang ke gothak berganti kostum dan menyusul duduk disamping satir pembatas. Sedangkan aku sibuk membolak-balik kitab untuk menemukan sampai mana ngaji kemarin. Sampai-sampai tak sadar semua santri sudah duduk di hadapanku. Dengan rutinitas seperti biasa aku mulai ngaji sore ini. Setelah berapa bab aku baca dan terangkan, sesi diskusi dimulai. Beberapa santri putra dan putri saling berpendapat, sedang aku hanya diam memperhatikan mereka. Ada sedikit yang aneh, beberapa kali aku melihat seorang santri putri memperhatikanku. Aku hanya pura-pura tak menyadari, tapi diam-diam sesekali aku juga memandanginya. Saat mata kami saling bertemu pandang, mataku langsung meloncat seribu arah. S

Bidadari Jilbab Biru

Pagi itu mentari datang seperti biasa, hanya ada sedikit perbedaan yang tidak begitu mencolok. Langit terlihat begitu biru, hanya ada sedikit awan putih di beberapa sudutnya. Tapi suasana pagi itu terasa sekali ada yang berbeda, entah apa yang membuat berbeda. Ada yang menggelitik dadaku, seakan menyuruhku untuk tersenyum tapi tak tahu senyum kenapa dan pada siapa.  Ah...., kenapa ya...., hari ini ada yang terasa aneh bagiku. Secangkir kopi panas dan sebatang rokok filter menjadi awal pagiku. Keanehan yang indah pagi ini tak begitu kuhiraukan, mungkin hanya efek dari cerahnya pagi. Seperti hari-hari kemarin, setelah mandi dan rapi aku berangkat kerja tanpa sarapan. Berjalan menyusuri jalan desa yang aspalnya sudah tinggal separuh. aku tinggal di sebuah desa yang agak jauh dari keramaian kota. Sebuah desa yang masih asri dengan pepohonan yang rindang dan keramahan masyarakatnya. Terletak di selatan gunung Sumbing, desa yang merupakan lintas batas tiga kabupaten Magelang-Purwor